Rasanya yang khas dan aromanya yang menggoda, membuat Pisang Ijo menjadi primadona. Warna hijau adonan dan kuning pisang di dalamnya, serta merah merona sirup DHT-nya merupakan perwakilan dari kesegaran dan kebahagiaan.
25 tahun lalu ketika kampung kami masih merupakan kampung dalam artian sebenarnya. Ketika panganan modern yang resepnya menjamur di jagat maya belum hadir. Pisang Ijo selalu menempati posisi istimewa di daftar menu berbuka keluarga di kampung.
Penjual pisang Ijo musiman juga bertambah seiring meningkatnya permintaan pasar. Mereka Yang tadinya hanya menjual Kue Putu, kini beralih jadi penjual Pisang Ijo. Sepupu jauh saya yang sebelas bulan lamanya berjualan Ubi Goreng, penggorengannya dia gantung dan beralih menjual pisang Ijo.
Pisang Ijo menjadi semacam bintang utama setiap waktu berbuka di kampung kami waktu itu. Mungkin karena ajaran bahwa Kurma adalah menu berbuka paling dianjurkan belum sampai di kampung kami saat itu.
Bagi kami, Pisang Ijo bukan sekadar hidangan, tapi simbol kemeriahan Ramadan. Dan mewakili semua legenda cita rasa kue dari bahan utama pisang.
Keistimewaan Pisang Ijo sebagai menu berbuka bertahan begitu lama di benak kami. Hingga akhirnya warung-warung meruntuhkan keistimewaan itu. Mereka menjadikan Pisang Ijo sebagai menu biasa yang bisa kita beli kapan saja.
Pisang Ijo mungkin tak lagi menjadi sosok istimewa di bulan Ramadan tetapi ia akan tetap dinantikan. Rasanya yang khas akan tetap menjadi pelengkap momen melepas dahaga puasa dan mengganjal perut sebelum dihantam hidangan berat.
Comments
Post a Comment