Skip to main content

Ridwan Sau dan Gen Z

Ridwan Sau

Ridwan Sau seperti mendapatkan angin keduanya di era sosial media ini. Pelantung lagu daerah berbahasa Makassar yang tenar di awal era 2000-an kini kembali sibuk mengisi panggung-panggung di sekitaran Sulawesi. Lagunya yang akrab di teliga remaja 90-an ke bawah ini juga ternyata bisa sangat diterima oleh generasi-Z.

Fenomena Ridwan Sau, menjadi bukti bahwa lagu-lagu pop daerah tak lekang oleh waktu. Di era digital ini, di mana musik modern dan internasional mendominasi, lagu-lagu lawas seperti yang dipopulerkan oleh Ridwan Sau kembali digemari oleh generasi muda, khususnya Gen Z.

Media sosial, seperti TikTok dan YouTube, menjadi platform utama yang mempopulerkan kembali lagu-lagu pop daerah. Gen Z, yang dikenal aktif di media sosial, terpapar dengan konten-konten kreatif yang menggunakan lagu-lagu tersebut.

Data menunjukkan bahwa 85% Gen Z di Indonesia menggunakan TikTok [Sumber: Katadata]. Platform ini telah melahirkan tren baru, seperti "dance challenge" dan "lip sync" yang menggunakan lagu-lagu pop daerah. Hal ini mendorong Gen Z untuk mencari tahu lebih banyak tentang lagu-lagu tersebut dan, pada akhirnya, jatuh cinta dengan melodi dan liriknya yang catchy.

Selain faktor media sosial, Gen Z juga menemukan kedekatan emosional dengan lagu-lagu pop daerah. Lirik yang sederhana dan relatable, serta melodi yang mudah diingat, membuat mereka mudah terkoneksi dengan pesan yang disampaikan dalam lagu.

Lagu-lagu pop daerah sering kali mengangkat tema cinta, kehidupan sehari-hari, dan budaya lokal. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai yang dianut oleh Gen Z, seperti kebanggaan terhadap budaya lokal dan keinginan untuk terhubung dengan akar budaya mereka.

Kebangkitan lagu-lagu pop daerah ini membawa dampak positif. Pertama, ini membantu melestarikan budaya lokal dan memperkenalkannya kepada generasi muda. Kedua, ini memberikan ruang bagi penyanyi daerah untuk mendapatkan pengakuan dan popularitas.

Namun, ada juga kekhawatiran bahwa popularitas ini dapat mengubah esensi lagu-lagu pop daerah. Ada kemungkinan lagu-lagu tersebut diubah aransemennya agar lebih modern, yang dapat menghilangkan ciri khas aslinya.

Hubungan antara perilaku bersosial media dan selera musik Gen Z telah terbukti dalam viralnya kembali lagu-lagu pop daerah. Media sosial menjadi platform utama dalam menyebarkan lagu-lagu tersebut, dan Gen Z, dengan kedekatan emosional dan relatabilitas mereka terhadap lagu-lagu tersebut, menjadi penikmat utama.

Fenomena ini menunjukkan bahwa budaya lokal masih memiliki tempat di hati generasi muda. Di era digital ini, media sosial dapat menjadi alat yang efektif untuk melestarikan budaya dan memperkenalkannya kepada generasi berikutnya.

Comments

Popular posts from this blog

Sandra Yang Kukenal

Sandra Dewi Hubungan saya dengan wanita kelahiran Pangkalpinang, Bangka Belitung itu tidak sedekat dulu. Perbedaan keyakinan dan kesibukan masing-masing membuat kami jarang memiliki waktu untuk bertemu. Ketika Sandra Dewi memutuskan pindah ke Jakarta pada tahun 2001 untuk melanjutkan kuliahnya, saya tetap tetap tinggal di kampung saya di Galesong dan melanjutkan sekolah di bangku kelas 6 Sekolah Dasar. Kecantikannya membuat wanita penggemar Disney ini banyak dilirik oleh produser dunia hiburan di Jakarta. Awalnya hanya ikut kontes kecantikan, ia menang. Setelahnya, karirnya terus menanjak. Sandra, begitu saya sering memanggilnya dulu, ini terlibat di beberapa proyek film layar lebar yang membuat namanya semakin tenar. Ia kemudian mencoba peruntungan di dunia tarik suara, kurang sukses, tapi namanya sudah terlanjur tenar. Karena tuntutan profesi dan cicilan yang masih banyak, Sandra kemudian menjadi presenter sebuah acara musik di stasiun TV swasta di Jakarta. Acara ini berlangsung cuku...

Menu Yang Sama

Penjual Daging Ayam di Bontopajja Waktu seperti berhenti di tempat jagal ayam potong. Bunyi pisau menyayat setiap bagian danging dan tulang ayam, menghadirkan irama yang perlahan menyadarkankanku, Ramadan akan segera beranjak pergi. Semacam ritual tahunan menjelang hari raya idul Fitri. Tahun ini giliranku mencari bahan opor ayam. Pukul sebelas lebih sedikit, saya memilih datang lebih awal saat antriannya belum ramai. Belajar dari tahun-tahun sebelumnya waktu sore menjadi saat yang tidak saya sarankan datang ke tempat jagal ini. Menu opor telah menjelma sebagai rasa yang mewakili kepergian bulan ramadan. Karinya seperti ucapan "see you goodbye". Aroma kelapa dan santannya menjadi pelatuk momen perpisahan. Besok tak sama lagi walau menu yang hadir mungkin sama. Kehangatan bulan kesembilan dalam penanggalan hijriah ini memang tak ada tandingannya. Dahaga dan lapar adalah bumbu dari perjuangan sebulan lamanya. Entah dari mana tetapi magis bulan ramadan selalu sama dan akan tetap...