Saya tak perlu menjelaskan bagaimana kondisi langit Sulawesi Selatan kemarin, orang-orang di sana tentunya sudah tahu itu.
Pun video-video yang beredar bagaimana air hujan, angin, dan gelombang laut menyapa dengan cara tak biasa, bisa menjelaskan kondisi langit kemarin itu.
Saya sudah berada di kursi 24F Citylink tujuan Jakarta ketika kepala badai memasuki Sulawesi.
Bahkan sehari sebelumnya ia sudah mengamuk di beberapa daerah. Di Galesong, kampungku, sudah banyak genangan. Di pantainya, gelombang menyapu banyak rumah dan menenggelamkan perahu-perhau nelayan.
Entah apa di pikiran kapten pilot Citylink pagi kemarin itu. Ia tetap memutuskan terbang.
Satu menit pertama setelah pesawat take off, suasana kabin masih normal. Kulihat ujung-ujung sayap pesawat damai bak menari menembus awan-awan. Namun beberapa menit berikutnya adalah ketegangan.
Pesawat seketika telah berada di tengah awan tebal nan berat. Di atas selat Makassar ia diguncang kiri kanan, ke atas dan ke bawah. Kesegenap penjuru angin
Saya yang berada di dekat jendela berusaha tetap tentang demi harga diri. Tentunya saya akan malu kepada dua ibu-ibu muda yang duduk di sampingku jika saya sampai memperlihatkan gerik gerik ketegangan.
Sesaat kemudian, tiba-tiba pesawat menukik tajam. Beberapa orang teriak tak karuan, saya salah satunya. Harga diri yang kujaga sekuat tenaga akhirnya raib. Hilang entah kemana.
Masa Critical Eleven berlalu namun Turbulensi-nya awet. Ia baru meredah 30 menit kemudian.
Saya kembali memperlihatkan wajah cool dan berharap orang-orang di samping saya ini tak mengingat reaksi ketegangan saya itu.
Sesaat setelah mendarat, di story WhatsApp seorang kawan, ia memperlihatkan kondisi citra satelit Himawari.
Di atas Sulawesi Selatan kondisinya merah pertanda awan hujannya sangat tebal. Dan kami baru saja melewati warna merah PDI Perjungan itu.
Comments
Post a Comment