Skip to main content

Jepang yang Asyik dan Syantik

Saya sering berfikir bagaimana kalau bangsa ini tidak pernah saja merdeka dari Jepang? Bagaimana jika gugusan pulau Nusantara ini cukup menjadi provinsi ke sekian dari negara itu?

Keisuke Honda
Saya jadi teringat seorang kawan yang bercerita kepadaku perihal pengalamannya hidup di Jepang selama hampir 10 tahun. Di mana justru merasa kehilangan saat kembali ke Indonesia.

Ia merasa telah menemukan cara hidup yang sesungguhnya di sana. Ia berharap perjalanannya kembali ke Indonesia adalah sekedar bertamasya untuk kemudian pulang kembali kampung halamannya, Jepang.

Saat ku tanya alasannya, ia seakan tidak bisa lagi mengungkapkan ribuan alasan yang bisa saja dia kemukakan. Jepang baginya adalah keamanan, ketertiban, dan karakter budaya yang kuat.

Bagi seorang muslimah yang taat, ia merasa Jepang tidak pernah mengusik keyakinannya. Tidak pernah merendahkan caranya beragama.

Lalu kemudian saya sadar terhadap sebuah fakta. Jika memang Jepang seasik itu lalu mengapa ia dinobatkan sebagai negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia? Sebuah ironi jika memang orang Jepang telah merasa bahagia dengan kondisinya.

Beberapa tahun silam saya pernah membaca hasil sebuah penelitian. Saya sudah lupa nama penelitinya, seingatku ia seorang ilmuwan dari Korea kalau bukan Jepang.

Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa manusia sesungguhnya mendambakan kebebasan tanpa terikat banyak aturan.

Kebahagiaan justru ketika kita berkendara dan melawan arus hanya untuk mempersingkat jarak. Ketika lampu kuning justru menancapkan gas motor sekuatnya. Atau membuang sampah dari jendela mobil di tengah perjalanan tanpa diganjar hukuman.

Semoga kesimpulan penelitian itu bukan rekayasa dengan maksud untuk membenarkan semua perilaku tidak disiplin bangsa ini.

Kemudian saya jadi teringat hasil penelitian lain. Yang mengkaji mengapa orang gila yang sering berkeliaran itu justru lebih sehat dari orang normal.

Menurut hasilnya, Sistem imun manusia perlahan akan meningkat menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Analogi sederhananya, semakin sering kamu disakiti maka kelak kamu merasa tidak sakit lagi.

Pagi ini saat menyaksikan drama Jepang harus menerima kenyataan pahit setelah unggul 2 gol dari Belgia. Kekalahan yang sangat menyakitkan yang bisa saja membuat beberapa orang pemain Jepang memutuskan mengakhiri hidup karena malu.

Ingin rasanya ku bisikkan ke telinga Keisuke Honda
"Oppa, jika kamu berniat bunuh diri sebaiknya kamu rungkan saja niatmu. Saya punya dua formula atas rasa sakit yang kau rasakan. Oppa cukup menggilakan diri atau kalau tidak kamu beli saja sepetak tanah di Indonesia. Kau boleh melawan arus dan tancap gas ketika lampu kuning seperti Honda-honda lainnya".

Btw itu "Oppa" panggilan untuk pria Samsung atau pria Suzuki, sih?

Comments

Popular posts from this blog

Sandra Yang Kukenal

Sandra Dewi Hubungan saya dengan wanita kelahiran Pangkalpinang, Bangka Belitung itu tidak sedekat dulu. Perbedaan keyakinan dan kesibukan masing-masing membuat kami jarang memiliki waktu untuk bertemu. Ketika Sandra Dewi memutuskan pindah ke Jakarta pada tahun 2001 untuk melanjutkan kuliahnya, saya tetap tetap tinggal di kampung saya di Galesong dan melanjutkan sekolah di bangku kelas 6 Sekolah Dasar. Kecantikannya membuat wanita penggemar Disney ini banyak dilirik oleh produser dunia hiburan di Jakarta. Awalnya hanya ikut kontes kecantikan, ia menang. Setelahnya, karirnya terus menanjak. Sandra, begitu saya sering memanggilnya dulu, ini terlibat di beberapa proyek film layar lebar yang membuat namanya semakin tenar. Ia kemudian mencoba peruntungan di dunia tarik suara, kurang sukses, tapi namanya sudah terlanjur tenar. Karena tuntutan profesi dan cicilan yang masih banyak, Sandra kemudian menjadi presenter sebuah acara musik di stasiun TV swasta di Jakarta. Acara ini berlangsung cuku...

Menu Yang Sama

Penjual Daging Ayam di Bontopajja Waktu seperti berhenti di tempat jagal ayam potong. Bunyi pisau menyayat setiap bagian danging dan tulang ayam, menghadirkan irama yang perlahan menyadarkankanku, Ramadan akan segera beranjak pergi. Semacam ritual tahunan menjelang hari raya idul Fitri. Tahun ini giliranku mencari bahan opor ayam. Pukul sebelas lebih sedikit, saya memilih datang lebih awal saat antriannya belum ramai. Belajar dari tahun-tahun sebelumnya waktu sore menjadi saat yang tidak saya sarankan datang ke tempat jagal ini. Menu opor telah menjelma sebagai rasa yang mewakili kepergian bulan ramadan. Karinya seperti ucapan "see you goodbye". Aroma kelapa dan santannya menjadi pelatuk momen perpisahan. Besok tak sama lagi walau menu yang hadir mungkin sama. Kehangatan bulan kesembilan dalam penanggalan hijriah ini memang tak ada tandingannya. Dahaga dan lapar adalah bumbu dari perjuangan sebulan lamanya. Entah dari mana tetapi magis bulan ramadan selalu sama dan akan tetap...

Ridwan Sau dan Gen Z

Ridwan Sau Ridwan Sau seperti mendapatkan angin keduanya di era sosial media ini. Pelantung lagu daerah berbahasa Makassar yang tenar di awal era 2000-an kini kembali sibuk mengisi panggung-panggung di sekitaran Sulawesi. Lagunya yang akrab di teliga remaja 90-an ke bawah ini juga ternyata bisa sangat diterima oleh generasi-Z. Fenomena Ridwan Sau, menjadi bukti bahwa lagu-lagu pop daerah tak lekang oleh waktu. Di era digital ini, di mana musik modern dan internasional mendominasi, lagu-lagu lawas seperti yang dipopulerkan oleh Ridwan Sau kembali digemari oleh generasi muda, khususnya Gen Z. Media sosial, seperti TikTok dan YouTube, menjadi platform utama yang mempopulerkan kembali lagu-lagu pop daerah. Gen Z, yang dikenal aktif di media sosial, terpapar dengan konten-konten kreatif yang menggunakan lagu-lagu tersebut. Data menunjukkan bahwa 85% Gen Z di Indonesia menggunakan TikTok [Sumber: Katadata]. Platform ini telah melahirkan tren baru, seperti "dance challenge" dan ...