Najwa Shihab |
"apa paling tidak enaknya jadi Gubernur?" tanya Najwab dengan sedikit senyum intimidatifnya yang khas kepada lima orang bapak-bapak di kiri kanannya.
Jawaban kelimanya kurang lebih sama, "rakyat terlalu berharap lebih kepada pemimpinnya". kelimanya mengakui kelemahannya sebagai mahluk yang penuh keterbatasan.
Terus mengapa rakyat itu (yang dimaksud oleh lima bapak-bapak) seolah lemah dan menjadi manusia-manusia penuh harap kepada pemimpinnya (pemimpin politik). Bahkan secara menyedihkan dijadikan sebagai subjek penyebab ketidak enakan oleh gubernur?.
Analisis pribadi saya, karena kebanyakan dari lima orang bapak-bapak ini saat kampanye dulu terlalu kencang meniupkan angin surga. Tampil di atas podium sebagai sosok penawar setiap derita. Maka setelah itu orientasi rakyat menjadi beralih dari sosok imajiner di gubuk-gubuk deritanya ke sosok nyata di atas podium.
Beberapa hari yang lalu, saya dan teman berkunjung ke rumah jabatan salah satu bupati di Sulawesi Selatan. Kami telah membuat janjian sebelumnya dengan bupati tersebut. Saat tiba di rumah jabatan, waktu menunjukan pukul depalan malam. Parkiran rumah jabatan ternyata telah penuh dengan kendaraan. Teras aulah rumah tersebut telah dipenuhi oleh masyarakat, tidak kurang dari lima puluhan orang.
"kayaknya kami akan menunggu lama untuk mendapatkan giliran bertemu" guman dalam hati, melihat banyaknya orang yang hadir.
Sekitaran lima menit kami berada di ruang rapat ketika bapak bupati ke luar dari ruang pribadinya dan langsung memanggil kami masuk. Beliau berpakaian kaos oblong dengan bawahan celana trining panjang. Ia tanpa basa-basi menanyakan maksud kedatangan kami.
Beliau semangat mendengar pemaparan ide yang kami tawarkan walaupun ia kelihaatan kelelahan. Hanya dua puluhan menit kami berbincang, tetapi dari situ saya tahu bahwa menjadi seorang pemimpin haruslah unggul segealanya. Termasuk harus punya kemampuan unggul menghadapi rakyat yang sejak dari tadi, bahkan sebelum kami datang, telah berkumpul di teras aula.
Jawaban kelimanya kurang lebih sama, "rakyat terlalu berharap lebih kepada pemimpinnya". kelimanya mengakui kelemahannya sebagai mahluk yang penuh keterbatasan.
Terus mengapa rakyat itu (yang dimaksud oleh lima bapak-bapak) seolah lemah dan menjadi manusia-manusia penuh harap kepada pemimpinnya (pemimpin politik). Bahkan secara menyedihkan dijadikan sebagai subjek penyebab ketidak enakan oleh gubernur?.
Analisis pribadi saya, karena kebanyakan dari lima orang bapak-bapak ini saat kampanye dulu terlalu kencang meniupkan angin surga. Tampil di atas podium sebagai sosok penawar setiap derita. Maka setelah itu orientasi rakyat menjadi beralih dari sosok imajiner di gubuk-gubuk deritanya ke sosok nyata di atas podium.
Beberapa hari yang lalu, saya dan teman berkunjung ke rumah jabatan salah satu bupati di Sulawesi Selatan. Kami telah membuat janjian sebelumnya dengan bupati tersebut. Saat tiba di rumah jabatan, waktu menunjukan pukul depalan malam. Parkiran rumah jabatan ternyata telah penuh dengan kendaraan. Teras aulah rumah tersebut telah dipenuhi oleh masyarakat, tidak kurang dari lima puluhan orang.
"kayaknya kami akan menunggu lama untuk mendapatkan giliran bertemu" guman dalam hati, melihat banyaknya orang yang hadir.
Sekitaran lima menit kami berada di ruang rapat ketika bapak bupati ke luar dari ruang pribadinya dan langsung memanggil kami masuk. Beliau berpakaian kaos oblong dengan bawahan celana trining panjang. Ia tanpa basa-basi menanyakan maksud kedatangan kami.
Beliau semangat mendengar pemaparan ide yang kami tawarkan walaupun ia kelihaatan kelelahan. Hanya dua puluhan menit kami berbincang, tetapi dari situ saya tahu bahwa menjadi seorang pemimpin haruslah unggul segealanya. Termasuk harus punya kemampuan unggul menghadapi rakyat yang sejak dari tadi, bahkan sebelum kami datang, telah berkumpul di teras aula.
Rakyat yang datang dengan harapan bertumpuk-tumpuk. Rakyat yang datang menagih janji yang tak pernah disepekati. Rakyat yang datang tanpa membuat jadwal pertemuan.
Maka jawaban yang Najwa terima dari lima bapak-bapak di kiri kanannya itu adalah jawaban jujur dari para gubernur. Sebuah jawaban atas rasa tidak enak yang sebenarnya mereka buat sendiri.
Comments
Post a Comment