"Aku suka rupiah biar dollar merajalela, aku cinta rupiah karena ku anak Indonesia”
Demikian sepotong lirik lagu anak-anak yang dinyanyikan oleh Cindy Cenora. Bagi saya dan mungkin jutaan anak Indonesia yang menghabiskan masa kanak-kanak di tahun 90-an, tentulah penggalan lagu tersebut tidak begitu asing. TVRI misalnya, yang senantiasa memutarkannya untuk kami pada saat hari libur tiba. Masa itu merupakan masa keemasan bagi perkembangan industri lagu anak-anak di Indonesia. Beberapa kenangan lagu masa kecil itu terbawa hingga saya dewasa, Cinta Rupiah oleh Cindy Cenora adalah salah satunya.
Lagu Cinta Rupiah sedikit banyak mempengaruhi masa kecil saya di kampung nun jauh di pesisir Sulawesi Selatan. Dari lagu itu saya jadi tahu bahwa ternyata nama mata uang negara saya adalah Rupiah. Bagi anak kecil seperti saya dan beberapa teman sebaya waktu itu, kehidupan kami di kampung juga sangat lekat dengan Rupiah. Bahkan beberapa jenis permainan tradisional yang kami mainkan menggunakan Doe Labba, bahasa Makassar, sebutan untuk uang koin perak pecahan seratus rupiah.
Di bangku Sekolah Dasar, Guru-guru kami juga senantiasa mengajarkan untuk gemar menabung. “Hemat pangkal kaya” tutur Guru yang dengan menyebutkan bahwa pribahasa itu bersumber dari pepatah saat kami berbicara perihal uang dan menyinggung kegemaran jajan di sekolah. Semenjak itu saya mulai paham, arti sebuah rupiah bagi kehidupan.
Sepulang sekolah, kulubangi tiang bambu yang berada di kolong rumah. Saya berkomitmen mulai saat itu, saya harus menabung sebagian rupiah dari uang jajan yang orang tua berikan. Hari pertama memasukan koin rupiah ke dalam celengan tiang bambu, begitu bersejarah. Sensasinya masih sama hingga sekarang di setiap kali saya memasukan rupiah ke dalam lubang celengan.
Kegemaran menabung terus berlanjut hingga beberapa tahun setelah momen pertama itu. Ibu sering memuji saya di depan anggota keluarga besar kami terkait kepintaran saya mengatur uang jajan. Di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Saya sudah jarang meminta uang kepada orang tua jika hanya untuk membeli Lembar Kerja Siswa (LKS). Kebutuhan itu masih bisa saya penuhi dari tabungan.
Setelah memasuki usia kerja, seharusnya saya lebih gemar menabung rupiah demi rupiah tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Gaya hidup dan tuntutan kebutuhan orang dewasa sangat berbeda dengan masa-masa sekolah ataupun kanak-kanak dahulu. Hingga kutemukan kembali kegemaran menabung pada sebuah momen uang kembalian pada saat belanja di supermarket.
Jumlah supermarket yang menjamur sangat mempengaruhi gaya hidup dan pola belanja masyarakat. Harga berbagai jenis barang di supermarket membuat kita menjadi lebih terbiasa dengan kembalian koin rupiah. Namun jumlah dan wujud uang koin terkadang menggangu tata letak dompet serta kantong celana. Akan kelihatan sangat sombong dan tidak bermoral jika saya harus mengabaikan koin-koin itu.
Semenjak itu kupupuk kembali kegemaran menabung. Kali ini saya tidak lagi melubangi tiang bambu di kolong rumah. Kukumpulkan koin-koin rupiah itu ke dalam wadah botol air mineral bekas. Ada semacam momen unik tiap kali memandangi botol air mineral berisikan koin-koin di sudut kamarku. Setiap tumpukan koin-koin di dalam botol semakin mendorong saya untuk terus menabung recehan demi recehan.
Memikirkan pecahan rupiah yang bisa saja tidak berarti apa-apa jika saya membuangnya. Membuat Saya merasa seolah menempuh sebuah proses untuk membuktikan pepatah lama “dikit-dikit lama-lama jadi bukit”.
Pada beberapa kesempatan, saya pernah membaca berita di media online. Orang-orang sanggup membeli sesuatu yang berharga yang mereka cita-citakan hanya dari tabungan koin-koin rupiah yang mereka kumpulkan dengan sabar selama bertahun-tahun. Saya juga memiliki beberapa pengalaman yang sulit terlupakan. Beberapa kali saya tertolong dari pecahan-pecahan rupiah terkecil itu saat mengalami masa-masa paceklik dan harus membeli paket data internet untuk kepentingan pekerjaan.
Tumpukan-tumpakan koin rupiah itu selain berperan sebagai tabungan juga dapat menampilkan nilai estetika dan motivasi bagi yang melihatnya. Tak jarang teman-teman yang secara tidak sengaja menemukan celengan botol mineral saya, tertular untuk melakukan hal yang sama. Hal ini bisa saja menjadi gerakan masyarakat untuk memberdayakan pecahan terkecil dari mata uang rupiah kita tercinta.
Demikian sepotong lirik lagu anak-anak yang dinyanyikan oleh Cindy Cenora. Bagi saya dan mungkin jutaan anak Indonesia yang menghabiskan masa kanak-kanak di tahun 90-an, tentulah penggalan lagu tersebut tidak begitu asing. TVRI misalnya, yang senantiasa memutarkannya untuk kami pada saat hari libur tiba. Masa itu merupakan masa keemasan bagi perkembangan industri lagu anak-anak di Indonesia. Beberapa kenangan lagu masa kecil itu terbawa hingga saya dewasa, Cinta Rupiah oleh Cindy Cenora adalah salah satunya.
Lagu Cinta Rupiah sedikit banyak mempengaruhi masa kecil saya di kampung nun jauh di pesisir Sulawesi Selatan. Dari lagu itu saya jadi tahu bahwa ternyata nama mata uang negara saya adalah Rupiah. Bagi anak kecil seperti saya dan beberapa teman sebaya waktu itu, kehidupan kami di kampung juga sangat lekat dengan Rupiah. Bahkan beberapa jenis permainan tradisional yang kami mainkan menggunakan Doe Labba, bahasa Makassar, sebutan untuk uang koin perak pecahan seratus rupiah.
Di bangku Sekolah Dasar, Guru-guru kami juga senantiasa mengajarkan untuk gemar menabung. “Hemat pangkal kaya” tutur Guru yang dengan menyebutkan bahwa pribahasa itu bersumber dari pepatah saat kami berbicara perihal uang dan menyinggung kegemaran jajan di sekolah. Semenjak itu saya mulai paham, arti sebuah rupiah bagi kehidupan.
Sepulang sekolah, kulubangi tiang bambu yang berada di kolong rumah. Saya berkomitmen mulai saat itu, saya harus menabung sebagian rupiah dari uang jajan yang orang tua berikan. Hari pertama memasukan koin rupiah ke dalam celengan tiang bambu, begitu bersejarah. Sensasinya masih sama hingga sekarang di setiap kali saya memasukan rupiah ke dalam lubang celengan.
Kegemaran menabung terus berlanjut hingga beberapa tahun setelah momen pertama itu. Ibu sering memuji saya di depan anggota keluarga besar kami terkait kepintaran saya mengatur uang jajan. Di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Saya sudah jarang meminta uang kepada orang tua jika hanya untuk membeli Lembar Kerja Siswa (LKS). Kebutuhan itu masih bisa saya penuhi dari tabungan.
Setelah memasuki usia kerja, seharusnya saya lebih gemar menabung rupiah demi rupiah tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Gaya hidup dan tuntutan kebutuhan orang dewasa sangat berbeda dengan masa-masa sekolah ataupun kanak-kanak dahulu. Hingga kutemukan kembali kegemaran menabung pada sebuah momen uang kembalian pada saat belanja di supermarket.
Jumlah supermarket yang menjamur sangat mempengaruhi gaya hidup dan pola belanja masyarakat. Harga berbagai jenis barang di supermarket membuat kita menjadi lebih terbiasa dengan kembalian koin rupiah. Namun jumlah dan wujud uang koin terkadang menggangu tata letak dompet serta kantong celana. Akan kelihatan sangat sombong dan tidak bermoral jika saya harus mengabaikan koin-koin itu.
Koin Rupiah |
Semenjak itu kupupuk kembali kegemaran menabung. Kali ini saya tidak lagi melubangi tiang bambu di kolong rumah. Kukumpulkan koin-koin rupiah itu ke dalam wadah botol air mineral bekas. Ada semacam momen unik tiap kali memandangi botol air mineral berisikan koin-koin di sudut kamarku. Setiap tumpukan koin-koin di dalam botol semakin mendorong saya untuk terus menabung recehan demi recehan.
Memikirkan pecahan rupiah yang bisa saja tidak berarti apa-apa jika saya membuangnya. Membuat Saya merasa seolah menempuh sebuah proses untuk membuktikan pepatah lama “dikit-dikit lama-lama jadi bukit”.
Pada beberapa kesempatan, saya pernah membaca berita di media online. Orang-orang sanggup membeli sesuatu yang berharga yang mereka cita-citakan hanya dari tabungan koin-koin rupiah yang mereka kumpulkan dengan sabar selama bertahun-tahun. Saya juga memiliki beberapa pengalaman yang sulit terlupakan. Beberapa kali saya tertolong dari pecahan-pecahan rupiah terkecil itu saat mengalami masa-masa paceklik dan harus membeli paket data internet untuk kepentingan pekerjaan.
Tumpukan-tumpakan koin rupiah itu selain berperan sebagai tabungan juga dapat menampilkan nilai estetika dan motivasi bagi yang melihatnya. Tak jarang teman-teman yang secara tidak sengaja menemukan celengan botol mineral saya, tertular untuk melakukan hal yang sama. Hal ini bisa saja menjadi gerakan masyarakat untuk memberdayakan pecahan terkecil dari mata uang rupiah kita tercinta.
Comments
Post a Comment