Pesta demokrasi yang melelahkan di kabupaten Takalar baru saja berakhir, secara de jure memang seperti itulah adanya. Pemenang telah diplenokan KPU tanggal 22 februari lalu. Walaupun secara de facto oleh negara masih harus menunggu proses hukum antara pihak pelapor dengan penyelenggara pemilu di meja Mahkama Konstitusi. Hal ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan, hampir setiap kaum terpelajar di Takalar sudah paham bahwa pesta demokrasi ini, siapa-pun pemenangnya kemungkinan akan menggunakan peluru terakhir dari pistol yang ia miliki.
Di pilkada Takalar kali ini saya pribadi cukup aktif terjun di kegiatan kampanye salah satu pasangan calon. Bisa dikatakan ring tiga dalam struktur, atau bisa dikatakan barisan kulit terluar, hahaha, meskipun saya sendiri sesungguhnya tak terlalu ambil pusing dengan tetek bengek tingkatan struktur itu. Keterlibatan aktif saya di pilkada kali ini lebih kepada dorongan moril dengan melihat adanya ketidakberesan dalam sistem yang sedang berlangsung. Serta faktor hubungan emosional kedaerahan, mungkin itu adalah alasan kedua saya.
![]() |
Suasana Kamapanye di Pilkada Takalar 2017 |
Di pilkada Takalar kali ini saya pribadi cukup aktif terjun di kegiatan kampanye salah satu pasangan calon. Bisa dikatakan ring tiga dalam struktur, atau bisa dikatakan barisan kulit terluar, hahaha, meskipun saya sendiri sesungguhnya tak terlalu ambil pusing dengan tetek bengek tingkatan struktur itu. Keterlibatan aktif saya di pilkada kali ini lebih kepada dorongan moril dengan melihat adanya ketidakberesan dalam sistem yang sedang berlangsung. Serta faktor hubungan emosional kedaerahan, mungkin itu adalah alasan kedua saya.
Saya sering menilai diriku sendiri belum cukup dewasa dalam berfikir, idealisme mahasiswaku masih enggan beranjak. Saya selalu ingin melihat semuanya, terutama dalam hal pemerintahan, berjalan dalam kaidah-kaidah yang adil, mensejahterakan, serta jauh dari penindasan. Semua hal itu ternyata tak ku temukan dalam tubuh pemerintahan sekarang, khususnya dari tingkatan desa hingga kabupaten. Jika anda tak sepaham denganku maka saya mengerti hal itu. Pandangan kita tentang pemerintahan yang ideal sungguh tak sama. Pandangan tiap manusia banyaklah dipengaruhi oleh pengalaman-pengalamannya.
Saya tak akan bercerita banyak tentang penindasan dan ketidakberesan yang menjadi alasanku. Sudah bukan waktunya lagi untuk menceritakan itu, toh tidak lama lagi perubahan itu akan berlangsung. Pemerintahan baru di kabupaten Takalar akan segera dilantik. Sehingga fokus sesungguhnya adalah untuk memperbaiki apa yang menurut kita tidak benar. Walaupun sesungguhnya saya bukanlah pemegang kuasa penuh untuk mewujudkan itu.
Merebut kemenangan setelah perjuangan yang menguras tenaga jiwa dan raga adalah obat dahaga yang menyegarkan. Sensasinya tak tergambarkan, rasa syukur yang luar biasa. Bahkan setelah hampir sebulan Pilkada itu berlalu hegemoninya masih indah untuk dikisahkan. Di warung-warung kopi, di bale-bale tengah sawah, di pelelangan ikan, di atas perahu, di pasar, bahkan hingga di pinggiran kuburan saat melayat. Maka sebagai pihak yang dukungan politiknya secara de jure telah menang, haruslah juga mengerti bahwa perasaan yang sebaliknya justru harus dirasakan oleh saudara kita yang secara dukungan politik berbeda.
Jika kemengangan di Pilkada kali ini adalah momentum utama untuk memperbaiki maka kedewasaan sebagai pemenang adalah hal pertama yang harus kita pahami. Kemengan ini sesungguhnya kemengangan demokrasi masyarakat Takalar. Konflik-konflik kecil hingga berat dengan lawan politik tentulah tak terhindarkan. Perasaan jengkel serta emosi yang belum padam kadang mengundang rasa jumawa. Maka dari itu kita harus kembali mengingat alasan utama mengapa kita berjuang untuk membuat perubahan. Karena kita ingin pemerintahan yang lebih baik. Karena kita ingin oknum-oknum yang sering menindas itu tidak kembali berkuasa. Dan tentunya karena kita tidak ingin seperti mereka.