Suasana panen menggunakan mesin pemotong padi modern |
Akhir maret saat matahari tepat di atas ubung-ubung masyarakat yang tinggal di wilayah katulitiwa bumi. Saat matahari bersinar sejadi-jadinya, walaupun terkadang masih ada sisa-sisa hujan bulan maret. Kesibukan melanda masyarakat di negeri agraris ini, tak terkecuali di wilayah pertanian di kampung halamanku - Galesong. Masih tersisah beberapa ribu hektar tanah pertanian dari serbuan pengembang perumahan.
Ada gairah yang menyenangkan saat melihat para petani lalu-lalang mengakut berkarung-karung padi dari ladang. Tumpukan karung-karung putih besar tergeletak di pematang, ada juga yang sedang diangkut menggunakan mobil menuju pengepul.
Beberapa tahun terakhir, ada nuansa berbeda dalam pola gerak petani di daerahku. Dahulu sekali saat musim tanam tiba, pemandangan aktifitas menanam yang bersemangatkan gotong royong masih kental terlihat di ladang persawahan. Masyarakat membantu satu sama lain dalam aktifitas menanam bibit demi bibit padi. Tak kurang sepuluhan orang berjejer di lahan dalam satu petak sawah.
Kini, serbuan industrisasi tak tebendung, gelora gotong royong itu perlahan tetapi pasti mulai memudar. Mesin-mesin tanam modern mulai menggantikan tenaga-tenaga manusia. Selain kepulan asap dan deru mesin dissel sebagai sumber penggerak, lahan pertanian tak seramai dahulu lagi saat musim tanam tiba.
Begitu juga saat musim panen seperti sekarang, sabit sebagai simbol pergerakan masyarakat agraris kini telah berganti menjadi mata pisau mesin-mesin pemotong batang padi modern. Tenaga-tenaga manusia berjibaku melawan praktis dan efisiennya hasil kerja mesin-mesin modern itu.
Sebuah kenyataan yang masyarakat kita harus terima, industri sebagai buah pemikiran kodrat manusia telah menghilangkan proses bermanusia pada sisi lainnya. Tingkat interaksi masyarakat pertanian kita di ladang persawahan semakin tergerus. Mungkin ini adalah kekhawatiran yang paling akut yang ku rasakan hingga obrolan siang hari dengan istriku itu terjadi.
Istriku menceritakan obrolan dengan pamannya beberapa hari sebelumnya, “mau kemanaki, kenapa sibuk sekaliki ku lihat?” tanya istriku kepada pamannya saat beliau bertamu ke rumah orang tua istriku.
“ini saya mau kesawa, panen mi sawahku” jawab pamannya, yang sebenarnya pamanku juga.
“kenapa na sibuk sekaliki, ku kira adaji mesin pemotong padi?” istriku heran, karena setahunya hampir semua petani yang panen memakai mesin pemotong.
“itu mi juga, tidak pakaika saya mesin” jawab pamanku dengan muka memalas.
“kenapa tidak pakaiki mesin?” timpal istriku dengan cepat karena penasaran.
“kasian ka kodong sama patabbasaku (buruh panen), mereka ngomong ke saya, daeng dimana ma bisa cari makan kodong kalau tidak kita pakai mi tenagaku?” jawab pamanku dengan mimik yang berusaha menggambarkan rasa kasihannya.
Sudah menjadi peraturan tidak tertulis perihal buruh tani dalam tatanam masyarakat kita. Bayaran dalam bentuk barang mentah hasil panen adalah solusi yang saling menguntungkan kedua bela pihak. Tradisi barter semacam ini bukan lagi tentang transaksi ekonomi semata antara pemberi jasa dengan kliennya, tetapi lebih dari itu. Ini tentang memanusiakan manusia, tentang sebuah semangat gotong royong yang saling menghidupkan.
Industrisasi sebagai tuntutan kebutuhan zaman tak bisa dihindari lagi, dengan segalah aktifitas positif yang ia matikan. Melawan kenyataan dengan alasan kemanusian juga adalah sebuah pilihan. Bukan berarti dengan menolak teknologi modern kita serta merta dicap tertinggal. Karena ada alasan dasar yang mungkin mesin-mesin modern itu tak pernah pahami.