Semburat bingkisan gelombang elektromagnetik dari bintang
terdekat dengan planet tempatku berpjak, beberapa masyarakat menamainya cahaya
matahari. Ia jatuh ke permukaan mengendap di celah awan bekas hujan lebat siang
tadi. Dari kabin
Nissan Grand Livina, di kilometer kesekian Jagorawi, setelah
melewati pintu tol kedua. Di kejauhan, di utara nun jauh berderet burupa
bayangan. Bangunan pencakar atap dunia, berkerumun serupa ilalang di padang tak
bertuan. Debunya serupa vapor back konser Mother Monster.
Jakarta 6 desember, ancaman banjir, ataukah cerita tentang
kutub politik, headline berita demikianlah sirkulasinya. Banyak kutemukan di Koran-koran
nasioanal diemperan halte busway. Tak habis pembahasan tentang gubernur
tandingan, ngantri dibelakangnya tentang ahli partai berebut kursi. Banyak juga
gossip tentang ulah oknum di acara car free day. Semacam debunya yang
menggerogoti sampai ke kerongkongan, Jakarta tak ubahnya magnet super hasil
olahan teknologi superkonduktor ilmuan Jepang. Tarikannya kuat tapi dibeberapa
kesempatan ia hanya ditaruh terhormat di bokong-bokong rel kereta api
Singkansen.
Sebuah kesempatan yang tak kusia-siakan, menginjakkan tilas di ibu kota. Tak seperti perangainya yang sering diumbar media, Jakarta nampak terhormat dan jangkung meski remeh temeh tentang ikhwal ekonomi tak bisa ditutupi. Perkampungan kumuh dan seabrek masalah sosial lainnya tak pernah habis dilamun waktu.
aku berharap diperjumpaanku dengan ibu kota dalam suasana baju berkerah dan aroma semir pantofel, laksana dahaga dibalut sejuknya tegukan air. Jalanku indah dan harapanku bisa hidup di tepian cita di puncak menara terjangkung seantero Jakarta, aamin..
Comments
Post a Comment