Skip to main content

Faiz

Dalam ajaran agama apapun, dalam wujud dan bentuk kepercayaan apapun manusia akan meyakini bahwa Tuhan itu adil. Terkadang di tengah gelombang cobaan, di tepian masalah yang teramat dasyat manusia-manusia yang memegang teguh kesabaran akan mengobati lukanya dengan mensugesti seluruh aliran jiwanya “Tuhan maha adil”.
Inilah rahasia alam semesta, inilah potongan puzzle, inilah bentuk yang terkadang tak kita pahami. Membandingkan diri sendiri dengan kebahagiaan yang dicerna oleh penglihatan atas orang lain. Adakalanya iri, adakalanya menyesali, dan adakalnya bingung. “katanya Tuhan maha adil tapi kok saya begini?”
Gembala rasa iri, sesal, dan bingungmu kawan tapi sebelum ia terlalu dewasa dan berkekuatan untuk mengaturmu maka bunuhlah ia. Cobalah menengok di sebuah sisi, jauh di tepian bumi yang tak kau lihat. Ada wujud yang mungkin bisa menjawab teka-teki, melengkapi puzzle yang telah menginang lama di hatimu, di benakmu.
Namanya Faiz, terlahir ke dunia sekitar sepuluh tahun lalu disebuah desa di pedalaman Bulukumba. Ia diberi kesempatan oleh Tuhan merasakan kehangatan seorang ibu cukup tiga tahun saja. Aku merinding, tak kurasa air mataku mengalir. Diusia belia, dimasa di mana anak ayam tertidur dalam kehangatan bulu lebat induknya.
Sekitar sebulan lalu disebuah kesempatan aku dipertemukan oleh Tuhan dengan anak ini. Menjadi asisten untuk praktikum geolistrik teman-teman mahasiswa jurusan Fisika UIN di Bantaeng. Faiz diasuh oleh sebuah keluarga yang baik tempat saya tinggal beberapa hari dengan para mahasiswa kuliah lapang ini.
Dari cerita orang tua asuhnya, Faiz dititipkan oleh ayahnya karena ia sering disiksa oleh ibu tirinya. Faiz dan ayahnya tiba di Bantaeng untuk mengadu nasib di sebuah ladang tandus di kecamatan Pajukukang. Nasib mereka tak kunjung berubah, ayahnya mengadu peruntungan ke ladang sawit di Malaysia. Faiz bocah sepuluh tahun yang belum sekolah terpaksa ditinggal oleh ayahnya.
Disuatu kesempatan aku mencoba mendekatinya, ia malu, lari dan menjauh. Kegetiran hidup membuatnya sedikit anti sosial. Aku baru berhasil mengobrol singkat dengannya saat kesempatan kedua aku berkunjung ke Bantaeng. Aku mengambil kumpulan kartu remi, aku mengajaknya main, ia tertarik. Diselah permainan aku bertanya.
“siapa nama ta?” tanyaku.
“Faiz” jawabnya dengan wajah tertunduk
“kelas berapa maki?”
Diam lama lalu.. “tidak sekolahka” jawabnya datar.
Dari gestur tubuhnya aku tahu anak ini penasaran dengan kata “sekolah”. Seakan ada kegelisahan yang ia pendam.
“kenapa tidak sekolahki” tanyaku sambil mengocok kartu remi.
“tidak ada mi mama ku” cetusnya cepat menyambut pertanyaanku.
Sebuah jawaban yang menyiratkan kerinduan terhadap sebuah sosok. Mungkin dibenak Faiz, bersekolah membutuhkan perhatian dari seorang ibu. Ibu yang menyiapkan seragam sekolah, ibu yang membelikan buku tulis, ibu yang memandikan dikala pagi. Dan ibu yang menyambut saat tiba di rumah. Kini seolah langkahnya pincang, Faiz belum memiliki kekuatan besar untuk melalui momen sekolah tanpa sosok seorang ibu.
Sebelum bertolak kembali ke Makassar saya menyempatkan berbincang dengan orang tua asuh Faiz, saya merekomendasikan Faiz agar disekolahkan. Dari perbincangan tersebut saya mendapat kesimpulan, ada ketakutan Faiz untuk bersekolah. Orang tua asuh Faiz juga ingin agar ia bersekolah.
Sekarang Faiz mengembalakan seekor kuda pemberian dari bapak Aji, ayah dari orang tua asuh Faiz. Bapak Aji memiliki harapan, kelak dengan kuda gembalaan tersebut Faiz bisa mandiri.


Aku berharap dari teman-teman yang membaca note ini agar kiranya memberi ide ataupun masukan, saya sangat berkeinginan agar Faiz mau bersekolah atau setidaknya ia bisa membaca.
Faiz





Comments

Popular posts from this blog

Sandra Yang Kukenal

Sandra Dewi Hubungan saya dengan wanita kelahiran Pangkalpinang, Bangka Belitung itu tidak sedekat dulu. Perbedaan keyakinan dan kesibukan masing-masing membuat kami jarang memiliki waktu untuk bertemu. Ketika Sandra Dewi memutuskan pindah ke Jakarta pada tahun 2001 untuk melanjutkan kuliahnya, saya tetap tetap tinggal di kampung saya di Galesong dan melanjutkan sekolah di bangku kelas 6 Sekolah Dasar. Kecantikannya membuat wanita penggemar Disney ini banyak dilirik oleh produser dunia hiburan di Jakarta. Awalnya hanya ikut kontes kecantikan, ia menang. Setelahnya, karirnya terus menanjak. Sandra, begitu saya sering memanggilnya dulu, ini terlibat di beberapa proyek film layar lebar yang membuat namanya semakin tenar. Ia kemudian mencoba peruntungan di dunia tarik suara, kurang sukses, tapi namanya sudah terlanjur tenar. Karena tuntutan profesi dan cicilan yang masih banyak, Sandra kemudian menjadi presenter sebuah acara musik di stasiun TV swasta di Jakarta. Acara ini berlangsung cuku...

Menu Yang Sama

Penjual Daging Ayam di Bontopajja Waktu seperti berhenti di tempat jagal ayam potong. Bunyi pisau menyayat setiap bagian danging dan tulang ayam, menghadirkan irama yang perlahan menyadarkankanku, Ramadan akan segera beranjak pergi. Semacam ritual tahunan menjelang hari raya idul Fitri. Tahun ini giliranku mencari bahan opor ayam. Pukul sebelas lebih sedikit, saya memilih datang lebih awal saat antriannya belum ramai. Belajar dari tahun-tahun sebelumnya waktu sore menjadi saat yang tidak saya sarankan datang ke tempat jagal ini. Menu opor telah menjelma sebagai rasa yang mewakili kepergian bulan ramadan. Karinya seperti ucapan "see you goodbye". Aroma kelapa dan santannya menjadi pelatuk momen perpisahan. Besok tak sama lagi walau menu yang hadir mungkin sama. Kehangatan bulan kesembilan dalam penanggalan hijriah ini memang tak ada tandingannya. Dahaga dan lapar adalah bumbu dari perjuangan sebulan lamanya. Entah dari mana tetapi magis bulan ramadan selalu sama dan akan tetap...

Ridwan Sau dan Gen Z

Ridwan Sau Ridwan Sau seperti mendapatkan angin keduanya di era sosial media ini. Pelantung lagu daerah berbahasa Makassar yang tenar di awal era 2000-an kini kembali sibuk mengisi panggung-panggung di sekitaran Sulawesi. Lagunya yang akrab di teliga remaja 90-an ke bawah ini juga ternyata bisa sangat diterima oleh generasi-Z. Fenomena Ridwan Sau, menjadi bukti bahwa lagu-lagu pop daerah tak lekang oleh waktu. Di era digital ini, di mana musik modern dan internasional mendominasi, lagu-lagu lawas seperti yang dipopulerkan oleh Ridwan Sau kembali digemari oleh generasi muda, khususnya Gen Z. Media sosial, seperti TikTok dan YouTube, menjadi platform utama yang mempopulerkan kembali lagu-lagu pop daerah. Gen Z, yang dikenal aktif di media sosial, terpapar dengan konten-konten kreatif yang menggunakan lagu-lagu tersebut. Data menunjukkan bahwa 85% Gen Z di Indonesia menggunakan TikTok [Sumber: Katadata]. Platform ini telah melahirkan tren baru, seperti "dance challenge" dan ...