Skip to main content

Kabur "Edisi II"

Jika dilihat dari pandangan tiap manusia yang dewasa perihal keinginan dan semangatnya tentulah kita akan mendapati berbagai warna nyata yang beda. Bangun Kesiangan bukanlah suatu penyakit tetapi itu adalah warna, begitupulah berbagai kebiasaan orang yang sering kita anggap sebagai ketidak selarasan hidup. Padahal jika kita memaknai kebiasaan-kebiasaan tiap individu maka sungguh kita akan menemukan kesimpulan bahwa itulah warna-warni hidup.
Cauaca yang panas, debu berterbangan liar tak bersayap menyesaki jalan poros Makassar-Pare. Pukul sebeles lebih beberapa menit di kota Pangkep. Aku dan sohibku –Aryo Suryono Akmal, alias Yono, alias Yolang, dengan kecepatan sepeda motor yang sedang melakukan perjalan menuju kota Sengkang. Yono yang satu hari sebelumnya di lapangan sepak bola saat kami main bersama, tampa sengaja aku mengendus niatnya untuk pulang kampung ke Wajo. Aku, seperti halnya banyak orang yang memiliki kebiasaan atau motivasi lebih terhadap hal tertentu, dan aku bersemangat jika diajak berpetualang atau dalam konteks ini aku diajak berangkat ke Sengkang yang berjarak lebih seratus kilometer dari kota Makassar.
Aku berencana kabur satu hari dari posko KKN di Kab. Pangkep untuk menunaikan niatku berangkat. “serius kamu mau ikut” Tanya Yono meminta ketegasan
“iyoo, seriuska. Mauka lihatki kota Sengkang” jawabku semangat.
“aku belum pernah melihat danau Tempe yang terkenal itu” lanjutku, aku berusaha meyakinkan Yono agar aku bisa diikutkan.
“okei, kita berangkat pagi-pagi besok” Yono merestui ku ikut.
“iya, saya tunggu di Pangkep aja, kita lewat Bulu Dua sekalian aku ingin melihat jalur itu” aku semangat.
Kami bertemu di perempatan Bungoro siang itu, rencananya kami hanya akan memakai satu motor alias berboncengan memakai motorku dan motor Yono akan dititip di rumah saudara Saki, kawan kami yang tinggal di poros Barru-Soppeng.
Singkat cerita, kami telah sampai di kediaman Saki, motor Yono ia titip. Aku yang menjadi driver menuju ke Sengkang. Selepas dari Pekkae, kami melewati kecamatan Tanete Riaja. Jalur ini tidak asing lagi denganku karena dua tahun lalu saat musim liburan, aku, Yono dan Saki pernah berpetualang di daerah ini. Tanete Riaja adalah bagian dari wilayah Kab. Barru. Jalanannya sedikit agak bagus meski dibeberapa tempat ada yang masi rusak.

Perbatasan Barru  - Soppeng

Sebelum memasuki perbatasan Barru-Soppeng, kami beristirah di pos ronda pinggiran jalan. Kami sempatkan untuk menikmati pemandangan pegunungan yang masi hijau. Jalur Bulu Dua yang baru pertama kali aku lewati ini menyimpang potensi wisata. Susananya yang sejuk dan masi terjaga membuat Susana hatiku semakin bersemangat. Aku ingin tinggal lebih lama di tempat ini.
Saat memasuki kawasan Bulu Dua, pemandangan yang disajikan Tuhan semakin menggila. Tebing yang menjulang dengan beberapa air terjun di pinggirannya semakin menambah sensasi damai tempat ini. Bulu Dua yang selama ini ku imajinasikan tidak sama dengan kenyataannya. Penggambaranku terhadap Bulu Dua adalah bahwa ada dua gunung yang menjulang kemudian kami lewat diantaranya. Ternyata Bulu Dua sesungguhnya lebih merip dua gunung yang merupakan monument Tuhan. Bahkan satu daiantaranya tidak kelihatan dari arah Barru, gunung yang satunya baru akan nampak jika kita telah memasuki wilayah Kab. Soppeng. Meski agak kecewa karena tidak sesuia yang kuimajinasikan namun aku tetap jatuh cinta dengan suasana Bulu Dua.

Bulu Dua
Masi di kawasan ini tepatnya di kecamatan Marioriwawo, terdapat sebuah air terjun dan permandian yang konon dibuat oleh raja di kawasan itu. Airnya begitu jernih dan segar dengan hutan di sekelilingnya, tetapi kita harus berjuang sekuat tenaga untuk dapat mengakses tempat tersebut.
Selepas dari Bulu Dua, kami menempuh perjalanan kurang lebih satu jam untuk tiba di pertigaan Barru-Soppeng-Bone yang sebelumnya kami terjebak macet di sebuah pasar tidak jauh dari pertigaan itu. Sudah pukul duabelas lebih tiga belas menit, kami singgah makan di rumah paman Yono yang terletak tidak jauh dari pertigaan. Kami beristirahat setengah jam sebelum melanjutkan perjalan ke kota Sengkang.
Menuju ke kota Sengkang, Yono memberiku instruksi untuk lewat jalur Cabenge. Katanya lewat Watansoppeng (ibu kota Kab. Soppeng) menuju Sengkang itu lebih jauh, mending lewat Cabenge saja. Meski tidak serta merta aku iyakan perintahnya karena kebetulan saya suka petualang dan saya ingin lewat jalur kota tetapi sebagai tuan rumah aku harus mengiyakannya.
Sebelum memasuki wilayah Lili Riaja, Yono menyuruhku mengurangi kecepatan di sebuah wilayah pekuburan islam. Ternyata ia menunjukanku makam dari salah satu juniorku di kampus yang wafat beberapa bulan lalu. Kulihat kuburan itu sudah di hiasi dengan tembok batu berwarna keeamasan.
Kami melewati jalur yang kurang terlau baik, masi terdapat banyak ruas jalan yang rusak. Selepas melewati SMK 1 Lili Riaja kondisi jalanan mulai tidak bersahabat, aku memacu kendaraan dengan hati-hati. Di kawasan Cabenge sebelum memasuki wilayah Lili Rilau kami mengisi bensin di SPBU Cabenge.
Memasuki wliyah Lili Rilau, kami lewat di atas jembatan panjang yang terbentang di atas sungai Walanae. Nama Walanae tidak asing lagi di telingaku. Telah kubaca dibeberapa literatur tentang patahan kerak bumi di wilayah South Celebes. Di bawah tanah Soppeng terdapat patahan yang membentang dari Bone menuju ke Sidrap-Pare, dan salah satu dari tiga patahan yang terdapat di Sulawesi Selatan dinamakan Walanae.
Kami melewati Lili Rilau dan memasuki Kab. Wajo, terdapat tugu selamat datang yang dipenuhi baliho calon gubernur, kondisi jalanan masi belum terlalu baik. Dipinggiran kota Sengkang terdapat perguruan tinggi “Lamadukelleng”. Memasuki kota Sengkang, di salah satu sudut kota terdapat prasasti pesawat tempur, bangkai burung besi itu Nampak gagah dengan pose yang seakan melakukan manuver, tapi sayang ia tinggal tugu.
Kota Sengakang yang terdapat di bawah kaki bukit nampak bersahabat dengan Mesjid Agungnya yang megah. Kota sengkang aku juluki kota santri karena banyak terdapat pesantren ataupun sekolah agama di beberapa sudut kota.
Kami akhirnya tiba di kediaman Puang Akmal –Ayahnya Yono – pukul lima belas lebih sedikit, kami istirahat beberapa jam karena sorenya kami akan berkunjung ke Paduppa (semacam pantai Losari Makassar, tapi ini sungai).

Comments

Popular posts from this blog

Sandra Yang Kukenal

Sandra Dewi Hubungan saya dengan wanita kelahiran Pangkalpinang, Bangka Belitung itu tidak sedekat dulu. Perbedaan keyakinan dan kesibukan masing-masing membuat kami jarang memiliki waktu untuk bertemu. Ketika Sandra Dewi memutuskan pindah ke Jakarta pada tahun 2001 untuk melanjutkan kuliahnya, saya tetap tetap tinggal di kampung saya di Galesong dan melanjutkan sekolah di bangku kelas 6 Sekolah Dasar. Kecantikannya membuat wanita penggemar Disney ini banyak dilirik oleh produser dunia hiburan di Jakarta. Awalnya hanya ikut kontes kecantikan, ia menang. Setelahnya, karirnya terus menanjak. Sandra, begitu saya sering memanggilnya dulu, ini terlibat di beberapa proyek film layar lebar yang membuat namanya semakin tenar. Ia kemudian mencoba peruntungan di dunia tarik suara, kurang sukses, tapi namanya sudah terlanjur tenar. Karena tuntutan profesi dan cicilan yang masih banyak, Sandra kemudian menjadi presenter sebuah acara musik di stasiun TV swasta di Jakarta. Acara ini berlangsung cuku...

Menu Yang Sama

Penjual Daging Ayam di Bontopajja Waktu seperti berhenti di tempat jagal ayam potong. Bunyi pisau menyayat setiap bagian danging dan tulang ayam, menghadirkan irama yang perlahan menyadarkankanku, Ramadan akan segera beranjak pergi. Semacam ritual tahunan menjelang hari raya idul Fitri. Tahun ini giliranku mencari bahan opor ayam. Pukul sebelas lebih sedikit, saya memilih datang lebih awal saat antriannya belum ramai. Belajar dari tahun-tahun sebelumnya waktu sore menjadi saat yang tidak saya sarankan datang ke tempat jagal ini. Menu opor telah menjelma sebagai rasa yang mewakili kepergian bulan ramadan. Karinya seperti ucapan "see you goodbye". Aroma kelapa dan santannya menjadi pelatuk momen perpisahan. Besok tak sama lagi walau menu yang hadir mungkin sama. Kehangatan bulan kesembilan dalam penanggalan hijriah ini memang tak ada tandingannya. Dahaga dan lapar adalah bumbu dari perjuangan sebulan lamanya. Entah dari mana tetapi magis bulan ramadan selalu sama dan akan tetap...

Ridwan Sau dan Gen Z

Ridwan Sau Ridwan Sau seperti mendapatkan angin keduanya di era sosial media ini. Pelantung lagu daerah berbahasa Makassar yang tenar di awal era 2000-an kini kembali sibuk mengisi panggung-panggung di sekitaran Sulawesi. Lagunya yang akrab di teliga remaja 90-an ke bawah ini juga ternyata bisa sangat diterima oleh generasi-Z. Fenomena Ridwan Sau, menjadi bukti bahwa lagu-lagu pop daerah tak lekang oleh waktu. Di era digital ini, di mana musik modern dan internasional mendominasi, lagu-lagu lawas seperti yang dipopulerkan oleh Ridwan Sau kembali digemari oleh generasi muda, khususnya Gen Z. Media sosial, seperti TikTok dan YouTube, menjadi platform utama yang mempopulerkan kembali lagu-lagu pop daerah. Gen Z, yang dikenal aktif di media sosial, terpapar dengan konten-konten kreatif yang menggunakan lagu-lagu tersebut. Data menunjukkan bahwa 85% Gen Z di Indonesia menggunakan TikTok [Sumber: Katadata]. Platform ini telah melahirkan tren baru, seperti "dance challenge" dan ...