"Selama saya menjadi penjual bensin eceran, saya telah mengalami enam kali kenaikan BBM" ujarnya bangga.
Pak Amir adalah saksi hidup grafik menanjak dari sisa fosil zaman jurasik. Minyak bumi dari dalam perut kepulauan nusantara yang sejatinya dipersembahkan untuk hajat hidup manusia-manusia Indonesia.
Aku masih kecil waktu itu, ketika sore menjelang di saat para nelayan bersiap dengan perahu Katinting berpenggerak mesin bensin. Mengarungi samudera demi menyambung hidup di esok hari. Aku sering disuruh paman membeli beberapa botol bensin dalam takaran tradisional (botol markisa Malino).
Masih ku ingat aroma dan harganya, lima ratus rupiah per-botol yang setara lima ratus rupiah per-liter. Jika paman memberiku empat lembar rupiah yang di dalamnya berpose seekor Orang Hutan Kalimantan, aku sudah sempoyongan membawa empat botol yang cukup berat untuk ukuran anak delapan tahun.
Membahas belang demi belang, aroma demi aroma, dan teori ekonomi demi ketahanan devisa negara. Dan setelah ku tahu tentang proses penambangan minyak dari dalam perut bumi. Dan saat ku mengerti bahwa Indonesia memiliki semua itu, sungguh semua ini tidak akan terjadi.
Grafik yang hanya mengenal pola naik itu tidak akan pernah tergambar. Aroma dan harga bensin akan tetap sama seperti sore itu, sore saat aku masih dalam jiwaku yang berumur delapan tahun.
Negara ini sungguh membutuhkan Evo Morales, Fidel Castro, dan mungkin tidak sampai membutuhkan sosok Ahmad Dinejab atau pemimpin Soviet masa lalu. Kekayaan nusantara merindukan pikiran mandiri yang berani untuk mewujudkan amanat Pasal 33. Nasionalisasi perusahaan perampok sumber daya alam adalah harga yang tak bisa ditawar lagi.
Dan sekarang aku yang di dadanya bertemakan Agen of Change, yang di darahnya mengalir oksigen kesadaran. Dan yang di otaknya bersemayam sudut pandang. Ku sadari zaman-nya telah berubah, aroma bensin tidak menyengat seperti dulu, ia telah menguap di suhu kamar mewah abdi kuasa.
Aku tersadar di saat saya turun ke jalan meneriakan idealisme bersama kawan. Pada saat yang sama, masayarakat yang kita belah justru membuat ironi. Mereka terjebak teori, percaya pada hitung-hitungan komplotan mahluk berjas, yang termasuk golongan pemegang kuasa.
Pak Amir adalah saksi hidup grafik menanjak dari sisa fosil zaman jurasik. Minyak bumi dari dalam perut kepulauan nusantara yang sejatinya dipersembahkan untuk hajat hidup manusia-manusia Indonesia.
Aku masih kecil waktu itu, ketika sore menjelang di saat para nelayan bersiap dengan perahu Katinting berpenggerak mesin bensin. Mengarungi samudera demi menyambung hidup di esok hari. Aku sering disuruh paman membeli beberapa botol bensin dalam takaran tradisional (botol markisa Malino).
Masih ku ingat aroma dan harganya, lima ratus rupiah per-botol yang setara lima ratus rupiah per-liter. Jika paman memberiku empat lembar rupiah yang di dalamnya berpose seekor Orang Hutan Kalimantan, aku sudah sempoyongan membawa empat botol yang cukup berat untuk ukuran anak delapan tahun.
Membahas belang demi belang, aroma demi aroma, dan teori ekonomi demi ketahanan devisa negara. Dan setelah ku tahu tentang proses penambangan minyak dari dalam perut bumi. Dan saat ku mengerti bahwa Indonesia memiliki semua itu, sungguh semua ini tidak akan terjadi.
Grafik yang hanya mengenal pola naik itu tidak akan pernah tergambar. Aroma dan harga bensin akan tetap sama seperti sore itu, sore saat aku masih dalam jiwaku yang berumur delapan tahun.
Negara ini sungguh membutuhkan Evo Morales, Fidel Castro, dan mungkin tidak sampai membutuhkan sosok Ahmad Dinejab atau pemimpin Soviet masa lalu. Kekayaan nusantara merindukan pikiran mandiri yang berani untuk mewujudkan amanat Pasal 33. Nasionalisasi perusahaan perampok sumber daya alam adalah harga yang tak bisa ditawar lagi.
Dan sekarang aku yang di dadanya bertemakan Agen of Change, yang di darahnya mengalir oksigen kesadaran. Dan yang di otaknya bersemayam sudut pandang. Ku sadari zaman-nya telah berubah, aroma bensin tidak menyengat seperti dulu, ia telah menguap di suhu kamar mewah abdi kuasa.
Aku tersadar di saat saya turun ke jalan meneriakan idealisme bersama kawan. Pada saat yang sama, masayarakat yang kita belah justru membuat ironi. Mereka terjebak teori, percaya pada hitung-hitungan komplotan mahluk berjas, yang termasuk golongan pemegang kuasa.
Mereka ikut-ikutan menyundul harga, menampung minyak, dan mengkhianati perjuangan kawan-kawan mahasiswa. Masyarakat kecil prinsip ekonominya tak neko-neko, untung atau rugi. Jika bisa untung kenapa mesti rugi, toh negara gagal hadir di dapur-dapur mereka.
Empat belas tahun adalah kisah yang sudah usang, aroma masa lalu. Orde Lama telah lama mati, bapak Soeharto telah lama pamit. Katinting para nelayan senantiasa berganti, namun sari patinya bertahan dalam grafik kenaikan. Ia hidup bersama kesederhanaan dan semangat, gelombang-gelombang samudera lebih menantang dari pada membicarakan ulah petinggi negeri ini yang tak becus mengurus negara.
Empat belas tahun adalah kisah yang sudah usang, aroma masa lalu. Orde Lama telah lama mati, bapak Soeharto telah lama pamit. Katinting para nelayan senantiasa berganti, namun sari patinya bertahan dalam grafik kenaikan. Ia hidup bersama kesederhanaan dan semangat, gelombang-gelombang samudera lebih menantang dari pada membicarakan ulah petinggi negeri ini yang tak becus mengurus negara.
Comments
Post a Comment