Apa kalian tahu rahasia malam? Saat itu udara tiba-tiba bisa menjadi belati, menusuk sampai tulang rusuk. Gelapnya menghadirkan tanya dan semuanya tentang misteri. Semakin larut, semakin ia mengumbar kenyataan bahwa hidup memang harus menerima hadirnya gelap.
Angin laut tak asing lagi bagi seorang sepertiku, pemuda yang seluruh riwayat hidupnya berhubungan erat dengan samudera. Nenek moyang serta seluruh perangkat masa lalunya adalah garam-garam yang ditinggal air, menguap terbawa angin.
Malam ini, angin laut Pantai Losari yang bersukutu dengan udara malam tiba-tiba berkhianat padaku. Tak bisa ku sembunyikan geliat-geliat kedinginan. Tapi semua itu hanyalah persoalan sepele karena ada yang begitu hangat malam ini.
Di sampingku kawan, tepat di sampingku. Aku tak tahu jarak berapa sentimeter di sebelah kiriku, duduklah ia. Wanita yang telah menggelisahkan jiwa dan membuatku khawatir. Wanita yang tak sengaja bercocok tanam, menaruh benih cinta pada ladang hatiku yang tandus. Walau sebenarnya ia tak sendiri lagi.
Inilah kencang pertamaku, lebih tepatnya kasamaran perdana versi orang kampungan sepertiku. Kalian mau tahu kenapa aku katakan demikian? Telah lima komplotan Pengamen jalanan urakan yang datang silih berganti melantunkan lagu di belakang kami, layaknya musik pengiring. Hanya yang terakhir yang ku sodori seribuh perak, sisanya ku-usir.
Dengan lancang empat komplotan pengamen sebelumnya tanpa bertanya, menyanyikan lagu-lagu cinta berbahagia, beraroma pernyataan cinta. Mereka tak tahu bahwa kami bukanlah pasangan kekasih yang tengah menikmati malam di Losari. Seandainya mereka tahu bahwa kami adalah dua orang yang tanpa alasan jelas kini berkasus, bermasalah dengan hati yang terombang-ambing.
Kami hanya membicarakan tentang foto, kami hanya membicarakan tentang masa lalu, dan pada kesempatan ini tak ada niat untuk menyatakan cinta. “aku tak ingin sangkut pautkan semua ini dengan petikan gitar-mu, sana pergi..!” bisik sayup dalam hati.
Malam semakin larut dan aku tak ingin momen ini cepat berlalu, bila saja bisa ku habiskan waktu seribu tahun, aku akan bersedia duduk manis bersamanya, mengusir setiap pengamen yang datang mengganggu selama seribu tahun itu.
Kulihat bibirnya mulai pucat pasi, tangan halus kuning langsatnya nampak menderita menahan darah yang mengalir lambat akibat ulah udara malam. Rasa dingin telah melanda sampai tulang terdalam. Ngilu ini bukan semata karena dingin, karena aku takut kehangatan malam ini akan hilang. Kehangatan yang sungguh hanya kurasa sendiri sebagai cinta sepihak.
Angin laut tak asing lagi bagi seorang sepertiku, pemuda yang seluruh riwayat hidupnya berhubungan erat dengan samudera. Nenek moyang serta seluruh perangkat masa lalunya adalah garam-garam yang ditinggal air, menguap terbawa angin.
Malam ini, angin laut Pantai Losari yang bersukutu dengan udara malam tiba-tiba berkhianat padaku. Tak bisa ku sembunyikan geliat-geliat kedinginan. Tapi semua itu hanyalah persoalan sepele karena ada yang begitu hangat malam ini.
Di sampingku kawan, tepat di sampingku. Aku tak tahu jarak berapa sentimeter di sebelah kiriku, duduklah ia. Wanita yang telah menggelisahkan jiwa dan membuatku khawatir. Wanita yang tak sengaja bercocok tanam, menaruh benih cinta pada ladang hatiku yang tandus. Walau sebenarnya ia tak sendiri lagi.
Inilah kencang pertamaku, lebih tepatnya kasamaran perdana versi orang kampungan sepertiku. Kalian mau tahu kenapa aku katakan demikian? Telah lima komplotan Pengamen jalanan urakan yang datang silih berganti melantunkan lagu di belakang kami, layaknya musik pengiring. Hanya yang terakhir yang ku sodori seribuh perak, sisanya ku-usir.
Dengan lancang empat komplotan pengamen sebelumnya tanpa bertanya, menyanyikan lagu-lagu cinta berbahagia, beraroma pernyataan cinta. Mereka tak tahu bahwa kami bukanlah pasangan kekasih yang tengah menikmati malam di Losari. Seandainya mereka tahu bahwa kami adalah dua orang yang tanpa alasan jelas kini berkasus, bermasalah dengan hati yang terombang-ambing.
Kami hanya membicarakan tentang foto, kami hanya membicarakan tentang masa lalu, dan pada kesempatan ini tak ada niat untuk menyatakan cinta. “aku tak ingin sangkut pautkan semua ini dengan petikan gitar-mu, sana pergi..!” bisik sayup dalam hati.
Malam semakin larut dan aku tak ingin momen ini cepat berlalu, bila saja bisa ku habiskan waktu seribu tahun, aku akan bersedia duduk manis bersamanya, mengusir setiap pengamen yang datang mengganggu selama seribu tahun itu.
Kulihat bibirnya mulai pucat pasi, tangan halus kuning langsatnya nampak menderita menahan darah yang mengalir lambat akibat ulah udara malam. Rasa dingin telah melanda sampai tulang terdalam. Ngilu ini bukan semata karena dingin, karena aku takut kehangatan malam ini akan hilang. Kehangatan yang sungguh hanya kurasa sendiri sebagai cinta sepihak.
Comments
Post a Comment