Skip to main content

Aku, Dia, dan Lima Komplotan

Apa kalian tahu rahasia malam? Saat itu udara tiba-tiba bisa menjadi belati, menusuk sampai tulang rusuk. Gelapnya menghadirkan tanya dan semuanya tentang misteri. Semakin larut, semakin ia mengumbar kenyataan bahwa hidup memang harus menerima hadirnya gelap.

Angin laut tak asing lagi bagi seorang sepertiku, pemuda yang seluruh riwayat hidupnya berhubungan erat dengan samudera. Nenek moyang serta seluruh perangkat masa lalunya adalah garam-garam yang ditinggal air, menguap terbawa angin.

Malam ini, angin laut Pantai Losari yang bersukutu dengan udara malam tiba-tiba berkhianat padaku. Tak bisa ku sembunyikan geliat-geliat kedinginan. Tapi semua itu hanyalah persoalan sepele karena ada yang begitu hangat malam ini.

Di sampingku kawan, tepat di sampingku. Aku tak tahu jarak berapa sentimeter di sebelah kiriku, duduklah ia. Wanita yang telah menggelisahkan jiwa dan membuatku khawatir. Wanita yang tak sengaja bercocok tanam, menaruh benih cinta pada ladang hatiku yang tandus. Walau sebenarnya ia tak sendiri lagi.

Inilah kencang pertamaku, lebih tepatnya kasamaran perdana versi orang kampungan sepertiku. Kalian mau tahu kenapa aku katakan demikian? Telah lima komplotan Pengamen jalanan urakan yang datang silih berganti melantunkan lagu di belakang kami, layaknya musik pengiring. Hanya yang terakhir yang ku sodori seribuh perak, sisanya ku-usir.

Dengan lancang empat komplotan pengamen sebelumnya tanpa bertanya, menyanyikan lagu-lagu cinta berbahagia, beraroma pernyataan cinta. Mereka tak tahu bahwa kami bukanlah pasangan kekasih yang tengah menikmati malam di Losari. Seandainya mereka tahu bahwa kami adalah dua orang yang tanpa alasan jelas kini berkasus, bermasalah dengan hati yang terombang-ambing.

Kami hanya membicarakan tentang foto, kami hanya membicarakan tentang masa lalu, dan pada kesempatan ini tak ada niat untuk menyatakan cinta. “aku tak ingin sangkut pautkan semua ini dengan petikan gitar-mu, sana pergi..!” bisik sayup dalam hati.

Malam semakin larut dan aku tak ingin momen ini cepat berlalu, bila saja bisa ku habiskan waktu seribu tahun, aku akan bersedia duduk manis bersamanya, mengusir setiap pengamen yang datang mengganggu selama seribu tahun itu.

Kulihat bibirnya mulai pucat pasi, tangan halus kuning langsatnya nampak menderita menahan darah yang mengalir lambat akibat ulah udara malam. Rasa dingin telah melanda sampai tulang terdalam. Ngilu ini bukan semata karena dingin, karena aku takut kehangatan malam ini akan hilang. Kehangatan yang sungguh hanya kurasa sendiri sebagai cinta sepihak.

Comments

Popular posts from this blog

Sandra Yang Kukenal

Sandra Dewi Hubungan saya dengan wanita kelahiran Pangkalpinang, Bangka Belitung itu tidak sedekat dulu. Perbedaan keyakinan dan kesibukan masing-masing membuat kami jarang memiliki waktu untuk bertemu. Ketika Sandra Dewi memutuskan pindah ke Jakarta pada tahun 2001 untuk melanjutkan kuliahnya, saya tetap tetap tinggal di kampung saya di Galesong dan melanjutkan sekolah di bangku kelas 6 Sekolah Dasar. Kecantikannya membuat wanita penggemar Disney ini banyak dilirik oleh produser dunia hiburan di Jakarta. Awalnya hanya ikut kontes kecantikan, ia menang. Setelahnya, karirnya terus menanjak. Sandra, begitu saya sering memanggilnya dulu, ini terlibat di beberapa proyek film layar lebar yang membuat namanya semakin tenar. Ia kemudian mencoba peruntungan di dunia tarik suara, kurang sukses, tapi namanya sudah terlanjur tenar. Karena tuntutan profesi dan cicilan yang masih banyak, Sandra kemudian menjadi presenter sebuah acara musik di stasiun TV swasta di Jakarta. Acara ini berlangsung cuku...

Menu Yang Sama

Penjual Daging Ayam di Bontopajja Waktu seperti berhenti di tempat jagal ayam potong. Bunyi pisau menyayat setiap bagian danging dan tulang ayam, menghadirkan irama yang perlahan menyadarkankanku, Ramadan akan segera beranjak pergi. Semacam ritual tahunan menjelang hari raya idul Fitri. Tahun ini giliranku mencari bahan opor ayam. Pukul sebelas lebih sedikit, saya memilih datang lebih awal saat antriannya belum ramai. Belajar dari tahun-tahun sebelumnya waktu sore menjadi saat yang tidak saya sarankan datang ke tempat jagal ini. Menu opor telah menjelma sebagai rasa yang mewakili kepergian bulan ramadan. Karinya seperti ucapan "see you goodbye". Aroma kelapa dan santannya menjadi pelatuk momen perpisahan. Besok tak sama lagi walau menu yang hadir mungkin sama. Kehangatan bulan kesembilan dalam penanggalan hijriah ini memang tak ada tandingannya. Dahaga dan lapar adalah bumbu dari perjuangan sebulan lamanya. Entah dari mana tetapi magis bulan ramadan selalu sama dan akan tetap...

Ridwan Sau dan Gen Z

Ridwan Sau Ridwan Sau seperti mendapatkan angin keduanya di era sosial media ini. Pelantung lagu daerah berbahasa Makassar yang tenar di awal era 2000-an kini kembali sibuk mengisi panggung-panggung di sekitaran Sulawesi. Lagunya yang akrab di teliga remaja 90-an ke bawah ini juga ternyata bisa sangat diterima oleh generasi-Z. Fenomena Ridwan Sau, menjadi bukti bahwa lagu-lagu pop daerah tak lekang oleh waktu. Di era digital ini, di mana musik modern dan internasional mendominasi, lagu-lagu lawas seperti yang dipopulerkan oleh Ridwan Sau kembali digemari oleh generasi muda, khususnya Gen Z. Media sosial, seperti TikTok dan YouTube, menjadi platform utama yang mempopulerkan kembali lagu-lagu pop daerah. Gen Z, yang dikenal aktif di media sosial, terpapar dengan konten-konten kreatif yang menggunakan lagu-lagu tersebut. Data menunjukkan bahwa 85% Gen Z di Indonesia menggunakan TikTok [Sumber: Katadata]. Platform ini telah melahirkan tren baru, seperti "dance challenge" dan ...