Skip to main content

Obsesi Ketinggian

Saat kecil aku selalu menjadi sosok yang kagum pada tempat-tempat tinggi. Secara diam-diam aku menaruh cinta pada menara masjid kampung, pohon asam, dan balkon rumah juragan ikan. Tempat-tempat itulah yang tampil secara mendadak semacam landmark pencakar langit di kampung kami. Dan aku terobsesi untuk berada dipuncak tempat-tempat itu.
Secara ilmu kejiwaan aku bisa dikategorikan phobia pada ketinggian tetapi secara ilmu fisika aku adalah pengagum ketinggian. Energi potensial gravitasi yang tersembunyi dari tempat yang tinggi telah menjadi semacam candu. Tiap waktu disaat orang tuaku lengah mengawasiku, aku dengan kekuatan semacam jumper tiba-tiba telah bersemayam di atas tempat-tempat itu.
Saat usiaku 14 tahun, aku meprovokatori brandal-brandal kampung yang sebaya denganku untuk membangun rumah pohon di pinggir laut kampung kami. Rumah pohon ini bercokol di atas cabang pohon yang tumbuh secara liar di pantai. Kami membangunnya tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah teknik bangunan. Bagi kami bukti kemampuan dan kekuatan suatu bangunan adalah sejauh mana bangunan tersebut mampu menopang tubuh kami.
Ketinggian telah menyulapku menjadi pelanggar aturan, bahkan aturan agama. Saat aku merasa orang-orang tidak enak dipandang maka aku mengasingkan diriku di landmark pencakar langit kampung kami. Mungkin itu pohon Asam, balkon rumah juragan ikan, tetai lebih sering aku di menara masjid kampung. Dari tempat tersebut aku bisa mengawasi dan melihat kepenjuru kampung kecilku. Yang sebelah baratnya bercumbu langsung dengan selat Makassar. Sehingga nampak jejeran perahu-perahu nelayan yang berlabu atau perkiran dipinggir pantai.
Tetapi semua cerita masa kecilku yang berhubungan dengan ketinggian seakan sirna saat aku mulai menginjak usia remaja. Hasrat untuk menuju puncak seakan menguap di panggang kesibukan kampus. Sistem pendidikan Indonesia yang tak karuan harus bertanggung jawab terhadap hilangnya hasrat dan potensi diri yang kumiliki.

Comments

Popular posts from this blog

Sandra Yang Kukenal

Sandra Dewi Hubungan saya dengan wanita kelahiran Pangkalpinang, Bangka Belitung itu tidak sedekat dulu. Perbedaan keyakinan dan kesibukan masing-masing membuat kami jarang memiliki waktu untuk bertemu. Ketika Sandra Dewi memutuskan pindah ke Jakarta pada tahun 2001 untuk melanjutkan kuliahnya, saya tetap tetap tinggal di kampung saya di Galesong dan melanjutkan sekolah di bangku kelas 6 Sekolah Dasar. Kecantikannya membuat wanita penggemar Disney ini banyak dilirik oleh produser dunia hiburan di Jakarta. Awalnya hanya ikut kontes kecantikan, ia menang. Setelahnya, karirnya terus menanjak. Sandra, begitu saya sering memanggilnya dulu, ini terlibat di beberapa proyek film layar lebar yang membuat namanya semakin tenar. Ia kemudian mencoba peruntungan di dunia tarik suara, kurang sukses, tapi namanya sudah terlanjur tenar. Karena tuntutan profesi dan cicilan yang masih banyak, Sandra kemudian menjadi presenter sebuah acara musik di stasiun TV swasta di Jakarta. Acara ini berlangsung cuku...

Menu Yang Sama

Penjual Daging Ayam di Bontopajja Waktu seperti berhenti di tempat jagal ayam potong. Bunyi pisau menyayat setiap bagian danging dan tulang ayam, menghadirkan irama yang perlahan menyadarkankanku, Ramadan akan segera beranjak pergi. Semacam ritual tahunan menjelang hari raya idul Fitri. Tahun ini giliranku mencari bahan opor ayam. Pukul sebelas lebih sedikit, saya memilih datang lebih awal saat antriannya belum ramai. Belajar dari tahun-tahun sebelumnya waktu sore menjadi saat yang tidak saya sarankan datang ke tempat jagal ini. Menu opor telah menjelma sebagai rasa yang mewakili kepergian bulan ramadan. Karinya seperti ucapan "see you goodbye". Aroma kelapa dan santannya menjadi pelatuk momen perpisahan. Besok tak sama lagi walau menu yang hadir mungkin sama. Kehangatan bulan kesembilan dalam penanggalan hijriah ini memang tak ada tandingannya. Dahaga dan lapar adalah bumbu dari perjuangan sebulan lamanya. Entah dari mana tetapi magis bulan ramadan selalu sama dan akan tetap...

Ridwan Sau dan Gen Z

Ridwan Sau Ridwan Sau seperti mendapatkan angin keduanya di era sosial media ini. Pelantung lagu daerah berbahasa Makassar yang tenar di awal era 2000-an kini kembali sibuk mengisi panggung-panggung di sekitaran Sulawesi. Lagunya yang akrab di teliga remaja 90-an ke bawah ini juga ternyata bisa sangat diterima oleh generasi-Z. Fenomena Ridwan Sau, menjadi bukti bahwa lagu-lagu pop daerah tak lekang oleh waktu. Di era digital ini, di mana musik modern dan internasional mendominasi, lagu-lagu lawas seperti yang dipopulerkan oleh Ridwan Sau kembali digemari oleh generasi muda, khususnya Gen Z. Media sosial, seperti TikTok dan YouTube, menjadi platform utama yang mempopulerkan kembali lagu-lagu pop daerah. Gen Z, yang dikenal aktif di media sosial, terpapar dengan konten-konten kreatif yang menggunakan lagu-lagu tersebut. Data menunjukkan bahwa 85% Gen Z di Indonesia menggunakan TikTok [Sumber: Katadata]. Platform ini telah melahirkan tren baru, seperti "dance challenge" dan ...