Malam pertama Ramadhan, masjid muntah kelebihan orang bertobat. Imam mangap-mangap melafadzkan Al Fateha karena ulah kipas angin yang tiba-tiba mandek. Gambaran puluhan tahun tindak tanduk orang-orang di kampungku, on fire diawal bulan, on the way di akhir sabit.
Malam itu aku berada di baris belakang di barisan manusia-manusia yang baru belajar ditingkat meneguk air minum alias children Warriors. Bukan kesengajaan aku berada pada keadaan seperti ini. Lima menit sebelumnya saat muadzin mengumandangkan panggilan kemenangan aku masih tak mau menyadarkan diri menyentuh air wuduh. Aku masih berkelahi dengan iblis-iblis yang baru saja dijatuhi hukuman satu bulan dibui tampa masa percobaan sesaat setelah hilal terindera oleh abdi Pemerintah.
Sudah menjadi kebiasaan buruk bagiku, mengambil injuri time, saat ikhomat berkumandang, dengan akselerasi kecepatan berlari melintasi tiga rumah dari mesjid. Aku tiba di mesjid sesaat setelah ma’mum serentak mengucapkan “amin….!!!”- Masbuk, gelar yang tidak terlalu istimewa yang senan tiasa kusandang.
Tarwih pertama selalu menyiratkan cerita, bocah tengik yang lafadz amin-nya sepanjang nafas yang telah dibekali oksigen tambahan –panjang sekali. Deretan sajadah Made in Turkey yang warnanya melambangkan tingkat emosi pemiliknya. Ataukah barisan anak nelayan yang telah lupa tata cara menyembah yang dipedomankan buku-buku ajar PENDAIS. Semuanya terangkai apik bak telah tersekenario dengan tujuh belas kali pengambilan gambar. Cut, cut, dan cut lagi. Begitulah sutradara merangkai cerita malam ini malam pertama bulan seribu bulan sehingga nampak sempurna. Bahkan bisa dipastikan akan menjadi Boxofice jika diputar dilayar tancap.
Aku yang malam itu mengenakan kopiah hitam, baju kaos hitam dan sarung putih bergaris-garis biru ungu. Terperangkap dalam tingkat kelembaban udara 99 persen, temperatur yang mencium angka 29 derajat atau behkan diatasnya. Sekujur tubuh berpelembap dengan mata air peluh. Malam yang sungguh membuat dua malaikat di bahu kiri dan kananku mengaktifkan AC karena kepanasan dari tadi silih berganti menulis.
Ada kebiasaan diluar yang disariaatkan ketika kita menunaikan tarwih dikampungku. Masyarakatnya menganut tarwih delapan rakaat, tiap dua rakaat imam memberi salam atau bahasa gampangnya, delapan dibagi empat babak. Tapi ditiap babaknya dikumandangkan penghormatan ke tiap dari empat orang Khalifaurasydin. Kalian paham maksudku kan, kalau tidak paham tidak usah dipahami.
Kotak hitam yg terbuat dari kayu yang berpredikat sebagai celengan pembangunan mesjid di gulirkan saat selesai sholat Isya. Waktu-waktu seperti ini aku namakan waktu rawan, karena kaum hawa yang ada di baris belakang sering membuat suasana mesjid seperti pasar. Bicara sekonyong-konyong tak mau diatur. Panitia mesjid telah berkali-kali menegur tapi jangankan diam, melerik sebagai tanda mendengar pun ia tak lakukan. Inikah persamaan gendre?. Tak bisa disembunyikan lagi, seluruh khalyak tau bahwa persamaan gendre hanya opini yang tak berdasar. Wanita tetaplah wanita, bahkaan saat tarwih perdana-pun ia bergunjing.
Malam itu aku berada di baris belakang di barisan manusia-manusia yang baru belajar ditingkat meneguk air minum alias children Warriors. Bukan kesengajaan aku berada pada keadaan seperti ini. Lima menit sebelumnya saat muadzin mengumandangkan panggilan kemenangan aku masih tak mau menyadarkan diri menyentuh air wuduh. Aku masih berkelahi dengan iblis-iblis yang baru saja dijatuhi hukuman satu bulan dibui tampa masa percobaan sesaat setelah hilal terindera oleh abdi Pemerintah.
Sudah menjadi kebiasaan buruk bagiku, mengambil injuri time, saat ikhomat berkumandang, dengan akselerasi kecepatan berlari melintasi tiga rumah dari mesjid. Aku tiba di mesjid sesaat setelah ma’mum serentak mengucapkan “amin….!!!”- Masbuk, gelar yang tidak terlalu istimewa yang senan tiasa kusandang.
Tarwih pertama selalu menyiratkan cerita, bocah tengik yang lafadz amin-nya sepanjang nafas yang telah dibekali oksigen tambahan –panjang sekali. Deretan sajadah Made in Turkey yang warnanya melambangkan tingkat emosi pemiliknya. Ataukah barisan anak nelayan yang telah lupa tata cara menyembah yang dipedomankan buku-buku ajar PENDAIS. Semuanya terangkai apik bak telah tersekenario dengan tujuh belas kali pengambilan gambar. Cut, cut, dan cut lagi. Begitulah sutradara merangkai cerita malam ini malam pertama bulan seribu bulan sehingga nampak sempurna. Bahkan bisa dipastikan akan menjadi Boxofice jika diputar dilayar tancap.
Aku yang malam itu mengenakan kopiah hitam, baju kaos hitam dan sarung putih bergaris-garis biru ungu. Terperangkap dalam tingkat kelembaban udara 99 persen, temperatur yang mencium angka 29 derajat atau behkan diatasnya. Sekujur tubuh berpelembap dengan mata air peluh. Malam yang sungguh membuat dua malaikat di bahu kiri dan kananku mengaktifkan AC karena kepanasan dari tadi silih berganti menulis.
Ada kebiasaan diluar yang disariaatkan ketika kita menunaikan tarwih dikampungku. Masyarakatnya menganut tarwih delapan rakaat, tiap dua rakaat imam memberi salam atau bahasa gampangnya, delapan dibagi empat babak. Tapi ditiap babaknya dikumandangkan penghormatan ke tiap dari empat orang Khalifaurasydin. Kalian paham maksudku kan, kalau tidak paham tidak usah dipahami.
Kotak hitam yg terbuat dari kayu yang berpredikat sebagai celengan pembangunan mesjid di gulirkan saat selesai sholat Isya. Waktu-waktu seperti ini aku namakan waktu rawan, karena kaum hawa yang ada di baris belakang sering membuat suasana mesjid seperti pasar. Bicara sekonyong-konyong tak mau diatur. Panitia mesjid telah berkali-kali menegur tapi jangankan diam, melerik sebagai tanda mendengar pun ia tak lakukan. Inikah persamaan gendre?. Tak bisa disembunyikan lagi, seluruh khalyak tau bahwa persamaan gendre hanya opini yang tak berdasar. Wanita tetaplah wanita, bahkaan saat tarwih perdana-pun ia bergunjing.
Comments
Post a Comment