Skip to main content

Luhut dan 500 Nyawa

Kurang lebih 500 korban nyawa akibat Covid-19 mungkin bagi Pak Luhut Bingsar Panjaitan hanyalah angka-angka yang merupakan wujud dari resiko sebuah wabah. Lebih tepatnya resiko dari sebuah kelalaian berjamaah pemimpin negeri.

270 juta jiwa penduduk Indonesia, angka 500 memang sangat kecil. 500 nyawa melayang bagi Pak Luhut yang menghabiskan masa muda di medan perang tak membuatnya merinding.

Kemarin pagi saya menerima kabar duka tentang seorang kawan yang meninggal. Saya terkejut bukan hanya karena kematian kawan itu yang terasa begitu tiba-tiba. Tetapi karena saya diberi tahu bahwa beliau masuk dalam katergori Pasien dalam Pengawasan (PDP).

Sekitar sebulan lebih yg lalu, pagi buta di terminal bus Mamuju. Saya baru saja tiba di kota tersebut saat telpon saya berdering. 

Almarhum menanyakan posisi saya, ia tinggal di Mamuju dan beliau mengajak kami melakukan survei resistivity di sekitaran Mamuju.

Malamnya bersama beberapa temannya kami makan di warung makan Lamongan. Dan itu menjadi pertemuan kami yang terakhir. Besoknya saya harus ke lapangan dan ia terbang ke Jogjakarta mengikuti sebuah kelas pelatihan beberapa hari.

Sekitar dua Minggu lalu, tengah malam, panggialan telpon dari almarhum masuk. Kami membahas beberapa hal terkait survei yang sebelumnya telah kami lakukan. Dan itu menjadi obrolan kami yang terakhir.

Selain karena alasan riwayat perjalanan, ciri sakit beliau yang membuat pihak rumah sakit di Mamuju mengkategorikan almarhum sebagai PDP. Meskipun menurut informasi terakhir, dua hasil tes cepat yg dilakukan, almarhum tetap negatif. Dan pihak keluarga sisa menunggu hasil tes Swab.

Yang menjadi begitu memilukan adalah kesedihan orang tua almarhum. Status PDP membuat keluarga tentunya tak bisa menemani dalam ruang perawatan. Bahkan pada saat detik terakhir kehidupan almarhum ia harus tetap sendiri.

Belum selesai sampai di situ, jenasahnya pun harus diberikan perlakuan khusus. Protap standar kesehatan Dunia harus dijalankan. Bahkan teman yang juga tetangga almarhum tak bisa berlama-lama di rumah dua. "Terlalu banyak penjagaan" kabarnya melalui telpon.

Cerita memilukan seperti ini mungkin telah dirasakan oleh ribuan pasien yg manjadi korban Covid-19 ataupun yang sebatas dicurigai. Bukan semata membandingkan jumlah yang hidup dengan yang mati. Sebagimana logika Pak Luhut Bingsar Panjaitan. Cerita pilu di belakangnya yang mengetuk sisi kemanusiaan kita. Kecuali Pak Luhut tak memiliki sisi itu?

Comments

Popular posts from this blog

Sandra Yang Kukenal

Sandra Dewi Hubungan saya dengan wanita kelahiran Pangkalpinang, Bangka Belitung itu tidak sedekat dulu. Perbedaan keyakinan dan kesibukan masing-masing membuat kami jarang memiliki waktu untuk bertemu. Ketika Sandra Dewi memutuskan pindah ke Jakarta pada tahun 2001 untuk melanjutkan kuliahnya, saya tetap tetap tinggal di kampung saya di Galesong dan melanjutkan sekolah di bangku kelas 6 Sekolah Dasar. Kecantikannya membuat wanita penggemar Disney ini banyak dilirik oleh produser dunia hiburan di Jakarta. Awalnya hanya ikut kontes kecantikan, ia menang. Setelahnya, karirnya terus menanjak. Sandra, begitu saya sering memanggilnya dulu, ini terlibat di beberapa proyek film layar lebar yang membuat namanya semakin tenar. Ia kemudian mencoba peruntungan di dunia tarik suara, kurang sukses, tapi namanya sudah terlanjur tenar. Karena tuntutan profesi dan cicilan yang masih banyak, Sandra kemudian menjadi presenter sebuah acara musik di stasiun TV swasta di Jakarta. Acara ini berlangsung cuku...

Menu Yang Sama

Penjual Daging Ayam di Bontopajja Waktu seperti berhenti di tempat jagal ayam potong. Bunyi pisau menyayat setiap bagian danging dan tulang ayam, menghadirkan irama yang perlahan menyadarkankanku, Ramadan akan segera beranjak pergi. Semacam ritual tahunan menjelang hari raya idul Fitri. Tahun ini giliranku mencari bahan opor ayam. Pukul sebelas lebih sedikit, saya memilih datang lebih awal saat antriannya belum ramai. Belajar dari tahun-tahun sebelumnya waktu sore menjadi saat yang tidak saya sarankan datang ke tempat jagal ini. Menu opor telah menjelma sebagai rasa yang mewakili kepergian bulan ramadan. Karinya seperti ucapan "see you goodbye". Aroma kelapa dan santannya menjadi pelatuk momen perpisahan. Besok tak sama lagi walau menu yang hadir mungkin sama. Kehangatan bulan kesembilan dalam penanggalan hijriah ini memang tak ada tandingannya. Dahaga dan lapar adalah bumbu dari perjuangan sebulan lamanya. Entah dari mana tetapi magis bulan ramadan selalu sama dan akan tetap...

Ridwan Sau dan Gen Z

Ridwan Sau Ridwan Sau seperti mendapatkan angin keduanya di era sosial media ini. Pelantung lagu daerah berbahasa Makassar yang tenar di awal era 2000-an kini kembali sibuk mengisi panggung-panggung di sekitaran Sulawesi. Lagunya yang akrab di teliga remaja 90-an ke bawah ini juga ternyata bisa sangat diterima oleh generasi-Z. Fenomena Ridwan Sau, menjadi bukti bahwa lagu-lagu pop daerah tak lekang oleh waktu. Di era digital ini, di mana musik modern dan internasional mendominasi, lagu-lagu lawas seperti yang dipopulerkan oleh Ridwan Sau kembali digemari oleh generasi muda, khususnya Gen Z. Media sosial, seperti TikTok dan YouTube, menjadi platform utama yang mempopulerkan kembali lagu-lagu pop daerah. Gen Z, yang dikenal aktif di media sosial, terpapar dengan konten-konten kreatif yang menggunakan lagu-lagu tersebut. Data menunjukkan bahwa 85% Gen Z di Indonesia menggunakan TikTok [Sumber: Katadata]. Platform ini telah melahirkan tren baru, seperti "dance challenge" dan ...