Skip to main content

Wright Bersaudara


-->
Teknologi bagaimanapun bentuknya telah menjadi hal yang menghipnotis manusia kampung untuk semua gendre dan usianya. Usiaku tujuh tahun waktu itu ketika aku memipin semacam bocah maniak pesawat terbang. Anak-anak amis yang ingusan berkumpul dibawah komandoku sebagai penikmat teknologi burung besi penjajah langit.

Kami akan berlari setiap ada pesawat yang melintas di langit kampung, seakan telah menghafal batas teritorial kawasan area terbang kampung kami, mereka akan berhenti mengejar saat pesawat-pesawat itu telah keluar dari wilayah langit kekuasaan perkumpulan maniak pesawat.

Mengejar alat yang melaju diatas kecepatan suara adalah fanatisme bagi kami, berteriak tak karuang seperti kerumunan bayi ayam yang melihat butiran gaba. Selalu seperti itu hingga kami tersadar oleh usia. Fenomena kampungan seperti ceritaku dulu telah jarang dijumpai di kampung-kampung, mungkin akibat tidak eksotisnya lagi bentuk-bentuk pesawat. Mungkin pula karena telah banyak miniature pesawat yang dijual oleh penjual Kekek Kekek (mas penjual mainan). Bukan wah lagi untuk bocah modern.

Akan kukenan masa-masa itu sebagai cambuk bagiku, bahwa dulu aku pernah menjadi penonton laju pesawat, bahwa dulu aku pernah di atas permukaan bumi dan pesawat-pesawat itu jauh di atas kepalaku, tak terjangkau layang-layang.

Telah lama kusimpan hasratku untuk naik pesawat, terbang jauh di atas tempatku dimasa lalu. Ingin kurasakan cerita tentang pandangan di awan-awan. Dan tak pernah kurasakan aroma ban pesawat lepas landas dan landing. Aku ingin, ingin sekali.

Sekarang semua akan segera terbayar lunas, halusinasi masa kecil ketika menjadi maniak pesawat segera menjadi nyata. Untuk pertama dalam sekenario hidupku menunggangi burung raksasa anak kandung dari tekonologi. Hasil buah pikiran Wright bersaudara yang gagah itu kini tak lama lagi akan kucicipi. Naik pesawat bro, akhirnya sensasi masa kecilku akan kubayar lunas saat usiaku telah merangkul 22 tahun. Tak terkirah suka cita hati ini, lindungilah aku Tuhanku dipenerbangan perdanaku.

Comments

  1. genre
    gabah
    kukenang
    skenario
    terkira

    (rempongnya klo mw tulis komentar disini, terlalu byk pemeriksaannya)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sandra Yang Kukenal

Sandra Dewi Hubungan saya dengan wanita kelahiran Pangkalpinang, Bangka Belitung itu tidak sedekat dulu. Perbedaan keyakinan dan kesibukan masing-masing membuat kami jarang memiliki waktu untuk bertemu. Ketika Sandra Dewi memutuskan pindah ke Jakarta pada tahun 2001 untuk melanjutkan kuliahnya, saya tetap tetap tinggal di kampung saya di Galesong dan melanjutkan sekolah di bangku kelas 6 Sekolah Dasar. Kecantikannya membuat wanita penggemar Disney ini banyak dilirik oleh produser dunia hiburan di Jakarta. Awalnya hanya ikut kontes kecantikan, ia menang. Setelahnya, karirnya terus menanjak. Sandra, begitu saya sering memanggilnya dulu, ini terlibat di beberapa proyek film layar lebar yang membuat namanya semakin tenar. Ia kemudian mencoba peruntungan di dunia tarik suara, kurang sukses, tapi namanya sudah terlanjur tenar. Karena tuntutan profesi dan cicilan yang masih banyak, Sandra kemudian menjadi presenter sebuah acara musik di stasiun TV swasta di Jakarta. Acara ini berlangsung cuku...

Menu Yang Sama

Penjual Daging Ayam di Bontopajja Waktu seperti berhenti di tempat jagal ayam potong. Bunyi pisau menyayat setiap bagian danging dan tulang ayam, menghadirkan irama yang perlahan menyadarkankanku, Ramadan akan segera beranjak pergi. Semacam ritual tahunan menjelang hari raya idul Fitri. Tahun ini giliranku mencari bahan opor ayam. Pukul sebelas lebih sedikit, saya memilih datang lebih awal saat antriannya belum ramai. Belajar dari tahun-tahun sebelumnya waktu sore menjadi saat yang tidak saya sarankan datang ke tempat jagal ini. Menu opor telah menjelma sebagai rasa yang mewakili kepergian bulan ramadan. Karinya seperti ucapan "see you goodbye". Aroma kelapa dan santannya menjadi pelatuk momen perpisahan. Besok tak sama lagi walau menu yang hadir mungkin sama. Kehangatan bulan kesembilan dalam penanggalan hijriah ini memang tak ada tandingannya. Dahaga dan lapar adalah bumbu dari perjuangan sebulan lamanya. Entah dari mana tetapi magis bulan ramadan selalu sama dan akan tetap...

Ridwan Sau dan Gen Z

Ridwan Sau Ridwan Sau seperti mendapatkan angin keduanya di era sosial media ini. Pelantung lagu daerah berbahasa Makassar yang tenar di awal era 2000-an kini kembali sibuk mengisi panggung-panggung di sekitaran Sulawesi. Lagunya yang akrab di teliga remaja 90-an ke bawah ini juga ternyata bisa sangat diterima oleh generasi-Z. Fenomena Ridwan Sau, menjadi bukti bahwa lagu-lagu pop daerah tak lekang oleh waktu. Di era digital ini, di mana musik modern dan internasional mendominasi, lagu-lagu lawas seperti yang dipopulerkan oleh Ridwan Sau kembali digemari oleh generasi muda, khususnya Gen Z. Media sosial, seperti TikTok dan YouTube, menjadi platform utama yang mempopulerkan kembali lagu-lagu pop daerah. Gen Z, yang dikenal aktif di media sosial, terpapar dengan konten-konten kreatif yang menggunakan lagu-lagu tersebut. Data menunjukkan bahwa 85% Gen Z di Indonesia menggunakan TikTok [Sumber: Katadata]. Platform ini telah melahirkan tren baru, seperti "dance challenge" dan ...