Dengan desah nafas yang berirama timpang, raut wajah delapan puluhan yang diwarnai jenggot ideologis. Kulihat bentuk itu tiap hari, di batas cermin, di tanah sebagai bayang-bayang, di air sebagai pantulan, dan di hadapanku sebagai bentuk yang kumiliki. Berdiri sebagaimana tiap hari, tubuhnya kurus termakan malam. Terjaga tanpa ampun tiap saat.
Buku dan seabrek kertas yang menawarkan dunia di dekatku ter-tunduk lesu, kusam, penuh debu. Semangatku raib dibawa lari seekor musang berbulu gelap. Leher ciptaan Tuhan kaku dan roboh tak bersemangat. Telah gugur diriku.
Comments
Post a Comment